Fajar
News, Guluk-Guluk _ Akhir tahun 2011 yang lalu,
Pondok Pesantren Annuqayah keluarkan Surat Keputusan (SK) Dewan Masyaikh Pondok
Pesantren Annuqayah No. 2 tahun 1433 H perihal santri atau peserta didik yang
keluar atau dikeluarkan dari Satu Pondok Pesantren Daerah atau Satuan
Pendidikan dalam Naungan Pondok Pesantren Annuqayah.
Dengan
SK tersebut, membuat banyak mahasiswa Instika mengeluh. Pasalnya, dalam SK tersebut,
santri yang dikeluarkan atau diberhentikan dari satu pondok pesantren daerah
dalam naungan PPA harus juga dikeluarkan atau dimutasi dari satuan pendidikan
dalam naungan PPA. Hal ini sebagaimana terjadi Kepada Salah satu mahasiswa
Instika Jurusan Pendidikan agama Islam (PAI) sekaligus santri lubangsa, Moh.
Yasir Arofat, terpaksa harus berhenti kuliah karena berhenti dari pondoknya.
Menurutnya,
ia sangat menyayangkan sekali atas undang-undang yang dikeluarkan oleh pondok
pesantren itu. “Saya dengan teman-teman yang berhenti dari pondok harus juga
berhenti kuliah di Instika. Padahal, kenapa kami tidak melanjutkan kuliah di luar alasannya
satu, kami tidak ingin putus hubungan dengan guru-guru yang ada di Annuqayah
baik secara batin maupun dalam keilmuan,” ungkapnya kepada Fajar News, Selasa
(4/03).
Lebih
lanjut, mahasiswa asal Beragung itu, mengeluh serta merasa kebingungan. Ingin
mutasi keluar, No. NIM belum keluar. dari Kordinator Perguruan Tinggi Islam
Suasta (Kopertais). “Jika, kami mau melanjutkan keluar masih harus menunggu
sampai No. NIM itu keluar. Yang lebih kami prihatinkan bagaimana dengan
mahasiswa yang berhenti dari pondok karena ekonomi orang tuanya tidak mampu.
Atau mereka yang menikah, seperti teman saya. Jadi, mereka mau tidak mau harus
berhenti kuliah juga. Apakah ini tidak memilukan kepada kami?” tambahnya.
Namun,
menurut Wakil Rektor III Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, H. Mohammad Hosnan,
M.Pd., kebijakan mengeluarkan beberapa mahasiswa yang berhenti mondok terkait
dengan kebijakan Dewan Masyaikh, bukan hanya dilakukan pada tahun ini. Pada
tahun 2012, Rektor Istika, Drs. H. Abbadi Ishomoddin, MA., sudah pernah
mengeluarkan beberapa mahasiswa yang berhenti mondok.
“Dan
pada bulan Desember tahun 2013, sekitar 14 mahasiswa yang dikeluarkan sesuai
surat yang kami terima dari Pandok Pesantren.
Mahasiswa yang kami keluarkan dari masing-masing daerah Pondok
Pesantren, di antaranya, daerah Nirmala, Sawajarin dan Lubangsa. Tapi,
mayoritas mahasiswa yang lebih banyak kami keluarkan itu dari daerah Lubangsa.
Karena memang, dari daerah pondok pesantren yang banyak mahasiswanya dari Lubangsa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bapak Hosnan, mengaku bahwa
pihak kampus sudah melakukan klarifikasi kepada dewan pengasuh terhadap
mahasiswa yang memang berhenti mondok atas permintaan orang tuanya untuk
membantu perekonomian orang tua dalam mengarungi kerasnya hidup, supaya tetap
bisa melanjutkan kuliahnya. Akan tetapi, hal tesebut tak berhasil, tidak dapat
mengubah keputusan yang telah ditetapkan dalam SK.
“Maka
dari itu, kami telah mengirimkan surat usulan revisi keberatan terhadap
undang-undang itu, kepada semua pengurus perdaerah pondok pesantren. Dan kami melalukan klarifikasi bukan untuk
menentang keputusan dewan pengasuh. Akan tetapi, hanya tabayun saja. Sekali
lagi, saya sampaikan pihak kampus sendiri tidak bisa berbuat apa-apa dengan
kebijakan pesantren. Dan kampus ikut apa
kebijakan pesantren karena kampus ada di bawah naungan pesantren. Jujur saja,
kami merasa keberatan mengeluarkan mahasiswa kecuali ia dikeluarkan karena
melanggar kode etik kampus. Jadi, yang dapat kami lakukan hanya bisa
memfasilitasi para mahasiswa yang dikeluarkan
dengan memberikan surat mutasi,” pungkas Bapak Hosnan saat ditemui di
kantornya. [Fin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar