Selasa, 20 November 2012

Mari Kita Hidupkan Trias Tradition

Oleh: Fathol Alif (Ketua LPM Instika Periode 2012-2013)

Hari ini, mari kita perpanjang ingatan! Kita ingat kembali sejarah yang telah mahasiswa tulis di lembar sejarah Indonesia. Mulai dari kepeloporan mahasiswa dalam menumbangkan rezim Orde Lama (Orla), peristiwa Malari, hingga tumbangnya rezim despotis Orde Baru (Orba) yang mencengkram negeri ini selama 32 tahunan.

Ya, mari sejenak kita melepas penat sambil memesrai sejarah gerakan mahasiswa. Mari kita ingat kembali gerakan mahasiswa pada tahun 1965-1966. Kebangkitan mahasiswa di era ini lantaran melihat kondisi negara semakin tidak menentu dan mengalami kegoncangan luar biasa. Saat itu, mahasiswa melihat negara berada pada “lingkaran setan” sistem politik nasional. Perubahan bentuk pemerintahan menjadi bukti nyata bahwa negara sedang dirundung “galau”.

Selanjutnya, mari kita ingat juga peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Peristiwa yang meletus pada 15 Januari tahun 1974 ini merupakan akumulasi kekecewaan dan kemarahan mahasiswa terhadap kuatnya hegemoni kapitalisme dan cengkraman modal asing dalam perekonomian nasional. Walaupun banyak mahasiswa mengalami tindakan kekerasan (represif) dari aparat, bahkan sampai ada yang dipenjara, gerakan mahasiswa saat itu relatif berhasil dalam memberikan tekanan terhadap pemerintah yang waktu itu cendrung akomodatif dengan intervensi pasar bebas (kapitalisme).

Terakhir, yang perlu kita ingat hari ini adalah gerakan mahasiswa tahun 1998. Gerakan ini ditandai dengan gerakan anti Soeharto. Semua mahasiswa yang ada di tanah air, sepakat menjadikan Suharto sebagai musuh bersama (common enemy). Mereka kemudian menyatukan suara untuk menurunkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Isu yang diangkat adalah model pemerintahan yang hanya berorientasi pada istana ekonomi keluarga. Sehingga, ending dari drama ini tahun 1998 adalah runtuhnya rezim Orde Baru (Orba). Mulai saat itu, dimulailah sejarah baru Indonesia, reformasi.
Kini, era boleh berganti. Logikah peradaban boleh beruba. Terpenting, mahasiswa hari ini tidak boleh surut dalam semangat dan harapan. Mahasiswa tidak boleh sepenuhnya terseret oleh arus zaman, melainkan harus mampu untuk terus menerus bernegosiasi dengan kebaruan dan kelampauan pasca Orde Baru. Bagaimana pun, dunia baru, jika mahasiswa tidak terlalu pesimis dengan kondisi hari ini, akan memberi semakin banyak peluang dan ruang yang lebih luas bagi keterlibatannya.
Sayangnya, harapan tak selamanya berjalan seiring dengan realitas. Hari ini, ketika pemerintah sudah tak lagi menjadi harapan bangsa. Ketika pembuat kebijakan tak lagi banyak yang bijak. Ketika penegak hukum (KPK dan Polri) tak ubahnya “Tommy dan Jerry”. Dan ketika, menyitir bahasa M. Mushthafa, media tak lagi setia pada fakta, ketika itu pulalah, mahasiswa mulai banyak yang teralienasi. Bermunculan mahasiswa yang terasing dari dirinya sendiri.
Berita mengenai korupsi, adanya pemiskinan struktural, pendidikan yang tak bisa diakses oleh semua kalangan, sengkarut penegakan keadilan, tergerusnya semangat kebhinnekaan, dll. hanya dijadikan tontonan asyik di media. Semangat gerakan mahasiswa masa lalu, dalam memusuhi ketidakadilan, penindasan, pemiskinan struktural, tak lagi berada dalam diri mahasiswa hari ini.
Agent of change dan agent of social control yang biasa didengung-dengungkan ketika baru menjadi mahasiswa, hanya tinggal jargon mati yang tak punya makna apa-apa. Mahasiswa lebih sibuk merelakan diri diperbudak sistem. Demi meraih IP yang tinggi, mereka lebih memilih duduk manis mendengarkan dosen berceramah di depan kelas tanpa ada sedikit kepedulian, bahwa di luar kelas masih ada banyak anak seusia dirinya tak bisa merasakan bangku kuliah lantaran sistem yang tidak memihak mereka. Dalam mindset mereka sudah tertanam, bahwa mereka yang ber-IP rendah pasti akan kesulitan mencari pekerjaan setelah lulus nanti. Dalam kaitannya dengan hal ini, rupanya proyek hegemonisasi negara terhadap identitas dan aktivitas mahasiswa lumayan berhasil.
Perubahan gaya hidup mahasiswa juga menjadi salah satu alasan kenapa mereka tidak lagi beridentitas. Jika mahasiswa dulu lebih senang dengan adanya diskusi-diskusi kecil yang kemudian menghasilkan perubahan besar, maka tidak dengan mahasiswa hari ini. Mereka justru berbangga hati ketika mengahabiskan uang dengan jumlah besar, meskipun hasilnya kecil. 
Selebihnya, mahasiswa juga merasa lebih enjoy dininabobokan oleh “NKK” versi reformasi: pragmatisme dan hedonisme. Jika melihat kehidupan mahasiswa hari ini, yang tergambar dalam diri mereka ialah sesosok manusia yang hanya menjadikan identitas dirinya (mahasiswa) sebagai tititk tolak mobilitas vertikal yakni hanya untuk memperbaiki posisi kelasnya. Caranya, menyelesaikan studi dengan cepat dan meraih pekerjaan sesuai kalkulasi ekonomi yang mereka pikirkan.
Untuk itu, agar kita tidak termasuk ke dalam stigma mahasiswa hari ini yang dinilai hanya gila IP, tak punya kepekaan sosial, hedonis, pragmatis dan semacamnya, mari kita berproses bersama-sama dengan menghidupkan kembali trias tradition; membaca, diskusi dan menulis. Mari kita bergerak terus mengawal perubahan. Karena kita tak cukup hanya berdiam mendiskusikan perubahan. Peter F. Drucker pernah berkata, bahwa cara terbaik melakukan suatu perubahan ialah melakukannya, bukan hanya membicarakannya.
Hari ini, mari bersama-sama kita nyalakan lilin sehingga terpancarlah cahaya darinya. Kita tak boleh hanya merutuki kegelapan. Negeri ini adalah milik kita. Jangan biarkan negeri ini kotor dengan keberadaan koruptor. Dan juga, mari kita bangun rumah kedamaian. Rumah yang di dalamnya tersedia ruang untuk berdiskusi menyelesaikan persoalan. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar