Semasa hidupnya, K.H. Moh. Waqid Khazin tinggal lingkungan Madaris 2 Annuqayah, sekitar 100 meter ke utara dari Pasar Kemisan, Guluk-Guluk. Tepatnya, di Madrasah Tsanawiyah 2 dan Madrasah Aliyah 2 Annuqayah, kompleks Kebun Jeruk. Kiai Waqid sejak kecil sudah menjadi anak yatim, karena ayahandanya harus memenuhi penggilan sang Mahakuasa. Sehingga, tak salah ketika sudah dewasa hingga menjadi pengasuh beliau dikenal sebagai sosok kiai dan ulama yang dermawan. Namun dibalik kedermawanannya beliau juga dikenal sebagai sosok pelayan umat dan pencinta ilmu.
Merekam Masa Kecil: Sebuah Latar Belakang
Tidak terasa, Annuqayah sudah berumur 124 tahun. Pesantren yang disebut-sebut sebagai pesantren tertua di Madura lahir dari sosok agung, KH. Moh. Syarqawi al-Quddusi. Konon, kehadiran Kiai Syarqawi menjadi suluh di tengah-tengah masyarakat Guluk-Guluk yang kolot dan terbelakang. Maklum, masyarakat Guluk-Guluk pada waktu itu begitu dekat dengan aura kebodohan dan kemiskinan. Tak salah, aroma kriminal sering berhembus: perampokan, pencurian dan tindak kriminal yang lain. Itulah sebabnya, Kiai Syarqawi punya gagasan mendirikan sebuah pesantren sebagai “kekuatan tandingan” dalam menghadapi tetek bengek tindak kriminal tersebut.
Awalnya, Annuqayah tidak sebesar hari ini. Pesantren ini lahir dari sebuah kandang kuda pemberian H. Abdul Aziz. Sehingga, perjuangan Kiai Syarqawi tidak semudah membalikkan telapak tangan; butuh proses panjang untuk mengubahnya. Butuh proses yang panjang untuk mengembangkan pesantren. Terbukti, setelah beliau dipanggil oleh yang Maha Kuasa, santri-santri yang mendiami di Annuqayah cukup banyak. Namun, hal itu belum menjadi senjata yang cukup ampuh untuk mengubah tipologi masyarakat yang kolot. Pondok Pesantren Annuqayah belum cukup diterima oleh masyarakat.
Baru pada periode generasi putera-putera beliau, Annuqayah mulai melakukan pendekatan kepada masyarakat Guluk-Guluk dan sekitarnya. Catatan sejarah mengungkap bahwa Kiai Syarqawi dikaruniai 3 orang putera dari hasil pernikahannya dengan Ny. Mariyah. Di antaranya adalah KH. M. Ilyas, KH. Abdullah Sajjad dan KH. Siradj. Dari 3 putera inilah Annuqayah menuai perkembangan yang cukup signifikan. Salah satu perjuangan yang sangat terasa ketika Kiai Ilyas dan dibantu adiknya, Kiai Abdullah Sajjad, Annuqayah mulai diterima oleh masyarakat. Terutama ketika Kiai Ilyas datang dari pengembaraannya dalam menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, baik di Madura, Jawa hingga ke Mekkah. Sudah menjadi ketentuan Tuhan, setiap jiwa akan kembali kepada-Nya. Seperti Kiai Syarqawi juga manusia biasa, yang harus siap dipanggil oleh sang pemilik dzat ketika sampai pada waktunya. Sehingga, tepat pada tahun 1910 beliau wafat. Tampuk kepemimpinan pun berada di tangan tuan guru Kiai Ilyas.
Perubahan positif telah terjadi, khususnya di bidang hubungan kemasyarakatan. Dampak positif dari itu semua, Annuqayah kian mengalami pemekaran dan terpetak-petak menjadi beberapa daerah; Kiai Ilyas di Lubangsa (dhelem bere’), Kiai Sajjad di Latee (dhelem temur), Kiai Hosen di Sawajarin dan Kiai Idris di Kalabaan.
Nah, dari perubahan sistem di atas, Annuqayah menjadi pondok pesantren yang dekat dengan masyarakat. Hal tersebut berkat kelihaian tokoh yang dikenal santun yaitu Kiai Ilyas. Beliau memang cukup santun dalam memperlakukan semua orang. Hal itu bisa dibuktikan dari perlakuan beliau terhadap putera puterinya. Beliau mendidik putera-puterinya dengan sentuhan lembut dan nyaris tak ada “kekerasan” dalam mendidik. Tak salah, dalam kurun waktu yang tidak bagitu lama Annuqayah terlihat harmonis dengan masyarakat. Pola tingkah yang demikian menjadi sinar penerang bagi putera-puterinya. Dan tak terlalu berlebihan jika para putera-puteri beliau, ikut mewarisi keluhuran sikap Kiai Ilyas. Bisa dikatakan pola sikap yang ditampilkan beliau begitu “merakyat” hingga mampu menjadi suluh bagi perubahan sikap yang hina dan tak bermoral masyarakat Guluk-Guluk.
Pola sikap itu secara turun temurun dan dari generasi ke generasi terus menyehari dilingkungan Pondok Pesantren Annuqayah. Hingga putera-puteri beliau juga ikut menampilkan pola sikap yang luhur warisan Kiai Ilyas. Salah satu yang dari sekian sikap yang masih membumi adalah pribadi yang supel, penuh keakraban dan kedekatan yang tulus dalam memperlakukan semua orang. Inilah pribadi yang juga nampak pada cucunya, KH. Moh. Waqid Khazin; putera KH. M. Khazin Ilyas.
KH. Moh. Waqid Khazin lahir pada hari Senin, 13 Mei 1946, putra dari pasangan KH. Moh. Khazin Ilyas dan Ny. Shafiyah. Beliau hadir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Saudara-saudari beliau berturut-turut adalah KH. Moh. Tsabit Khazin, KH. M. Waqid dan Ny. Hj. Ummal Faradj.
Konon, sejak kecil Kiai Waqid belum pernah ditimang sang Ayah. Sejak tahun 1946, K. Khazin, sang ayah, berangkat ke Jawa demi mengemban tugas mulia, sebagai panglima perang. Maklum, waktu itu adalah masa perjuangan melawan penjajahan. Sehingga, waktu K. Khazin pun banyak tersita untuk berjuang. Maksud hati untuk berkumpul bersama keluarga, termasuk putranya, harus ditahan. Beliau tetap berada di Jawa hingga tahun 1948.
Sungguh, takdir sesorang hanya Allah yang tahu, bahkan kadang hidup nampak tidak adil. Kondisi itu juga dialami oleh Kiai Waqid ketika berumur 2 tahun. Ketika sang ayah selesai mengemban amanah perjuangan dan pulang ke Annuqayah. Bukan timang kasih yang beliau dapatkan, tetapi tangisan. Karena tepat pada 5 Dzulhijjah tahun 1948, KH. Khazin justru wafat. Lengkaplah sudah masa penuh uji Kiai Waqid. Maksud hati ingin sekali ditimang oleh ayahandanya, namun apa boleh buat, suratan takdir tidak berpihak padanya. Mimpi untuk mendapatkan kasih sayang dari ayahandanya justru berbuah air mata. Beliau justru hidup sebagai anak yatim sejak masih berumur 2 tahun.
Sepeninggal sang ayah, Kiai Waqid kecil diasuh sendiri oleh ibunda tercinta, Ny. Hj. Mu’adzah. Kemudian beliau sekeluarga tinggal bersama kakeknya, Kiai Ilyas di dhalem bere’ (sekarang Lubangsa). Nah, di sinilah peran kakek dituntut untuk menggantikan posisi sang ayah untuk cucunya. Peran kakek pun tidak bisa dihindarkan. Setiap dua hari sekali beliau bersama kakaknya, KH. Moh. Tsabit Khazin, dipanggil oleh kakeknya untuk diberikan uang jajan. Namun, karena Kiai Ilyas kian hari bertambah umur, didikan untuk Kiai Waqid tidak begitu maksimal. Beliau tidak sempat mendapat bimbingan langsung dari Kiai Ilyas. Sebab, tak lama kemudian, tepatnya pada akhir tahun 1949, kiai Ilyas menghadap sang Ilahi, pulang ke rahmatullah. Maka, pendidikan beliau berjalan natural, gaya belajar hampir sama dengan anak-anak semasanya. Kebiasaan sejak kecil pun biasa-biasa saja, seperti anak-anak kebanyakan.
Lahir sebagai anak yatim, membawa dampak yang luar biasa bagi Kiai Waqid. Beliau ingin menunjukkan bahwa, lahir menjadi anak yatim bukan alasan untuk tidak berproses. Semangat “perjuangan” sang ayah menjadi suluh bagi masa depan Kiai Waqid. Masa kecil yang terlunta-lunta lantaran minim kasih sayang dari sang ayah tidak menyurutkan semangat untuk menuntut ilmu. Hal itu dibuktikan dengan proses pendidikan yang dijalani semasa masih di Annuqayah. Beliau mampu menyelesaikan pendidikan di Mualimin (sekolah yang setara dengan MTs dan MA, semasa berdiri baru 4 tahun), tepat waktu. Beliau lulus Muallimin sekitar tahun 1962. Lalu, beliau langsung mendaftar ke STAIN Pamekasan. Namun, karena tidak ada biaya, niat melanjutkan kuliah terhenti di tengah jalan. Pada akhirnya, beliau kembali ke Annuqayah.
Di Annuqayah belaiu menjadi guru di Muallimin. Untuk meningkatkan ilmunya, khususnya di bidang nahwu, beliau bersama putera muda Annuqayah lain, belajar kepada Alm. KH. Habibullah Rois Kalabaan yang sengaja didatangkan ke Annuqayah. Nah, dari sini kemudian Kiai Waqid mulai mencintai ilmu-ilmu keagamaan. Tak pelak ketika sudah dewasa beliau dikenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan.
Masa Perkawinan dan Keluarga
Babak baru kehidupan Kiai Waqid telah dimulai. Tepat pada tahun 1982, beliau melepas masa lajangnya. Beliau dinikahkan dengan puteri Kiai Ashiem Ilyas, yaitu Ny. Hj. Fatimah Al-Batoul. Akad dilangsungkan di Kebun Jeruk pada malam Senin di dalemnya Kiai Ashiem. Begitu berkesan masa-masa pernikahan beliau. Beliau menikahi Nyai Batoul (nama sebelum berangkat menunaikan ibadah haji) saat masih kuliah di Jogja. Konsekuensinya, beliau tidak bisa melewati malam pertama sebagaimana pengantin baru pada umumnya. Karena, sewaktu Ijab kabul, sang isteri tidak berada di dekatnya, masih menuntut ilmu di Jogja. Beliau baru bisa menikmati masa indah ikatan suci itu ketika pada hari Senin Subuh, pagi hari setelah akad dilangsungkan, beliau berangkat ke Jogja, dalam rangka menjenguk tambatan hatinya. Konon, sembari menunggu kelulusan sang isteri, beliau sampai bolak-balik Jogja-Madura. Itu berlangsung sekitar 8 bulan.
Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Batoul, beliau dikaruniai 5 orang anak: 3 orang puteri, 2 orang putera. Putra puteri beliau adalah Muthmainnah (1983), Farah Arrafiedah (1984), Hanna Al-Ithriyyah (1986), M. Wail Al-Wajieh (1992) dan M. Hasan Al-Mubarak (1996). Mafhum, dalam hal berkeluarga, utamanya dalam mendidik anak, kita diingatkan kembali kepada masa-masa ketika Kiai Ilyas mendidik putera-puterinya. Syahdan, Kiai Ilyas seperti diceritakan banyak orang merupakan sosok ulama yang santun, nyaris tanpa kekerasan. Hal itu terbukti, ketika beliau mendidik langsung Ny. Hj. Nadliratun, isteri mendiang Alm. Kiai Ishom. Nyaris tanpa ada kata “kekerasan” dalam mendidik; begitu mengayomi. Sikap luhur beliau ternyata juga mengakar dalam diri Kiai Waqid, cucunya. Dalam hal didik mendidik anak, Kiai Waqid juga dikenal punya kemiripan sikap dengan kakeknya (walaupun tidak semuanya). Dahulu, ketika puterinya mau berangkat sekolah, beliau turun tangan sendiri, antar jemput sendiri puteri sulungnya ke sekolah. Namun, dalam kaitannya dengan belajar, sebagaimana dituturkan oleh Ny. Hana al-Ithriyah, beliau dikenal “keras”. Keras di sini bukan dalam arti fisik, namun dari sisi kedisiplinan. Beliau selalu menekankan kepada putra-putrinya agar senantiasa belajar dengan keras dan disiplin.
Berguru Kepada Ahli Hadits
Semangat menuntut ilmu dalam jiwa Kiai Waqid, tidak lantas pudar setelah berkeluarga. Menikah bukan berarti menjadi rintangan dalam mencari ilmu. Terbukti, setelah mempersunting puteri Kiai Ashiem, sepupunya sendiri, beliau bermukim di Mekah selama 10 tahun, dari tahun 1983 hingga 1992 (5 tahun ditemani sang isteri, 5 tahun bermukim sendiri di Mekah). Sampai di Mekah beliau tidak sekadar menunaikan ibadah haji, tetapi beliau punya tujuan yang lebih mulia: menuntut ilmu ke berbagai guru dan syeikh. Di Mekah beliau juga mendalami ilmu-ilmu hadits. Dua keistimewaan yang beliau dapatkan ketika menuntut ilmu di Mekah. Pertama, bisa berguru langsung kepada ulama yang punya sanad langsung kepada penulisnya seperti Sayyid Muhammad bin Alawi al-Miliki, Syeikh Isma’il al-Yamani, Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dan Syeikh Muhammad As-Shabuny.
Kedua, Kiai Waqid punya gelar yang langka dimiliki oleh kebanyakan orang. Kenapa istimewa? Karena beliau punya semacam ijazah (semacam lisensi spiritual) untuk mengajarkan berbagai kitab yang sanad-nya bersambung langsung ke penulisnya. Mafhum, sejak kepulangannya dari tanah suci Mekah beliau sering molang ajian kitab hadits, seperti Tajrih al-Sharih dan al-Jami’ al-Shagir. Pernah suatu saat ketika beliau molang ajian kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan Sunan Abu Daud. Beliau sering menceritakan tentang hadits itu hingga ke Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud. Beragam penjelasan beliau memang langsung menjurus ke penjelasan penulisnya. Dan secara estafet penjelasan itu disampaikan hingga murid yang terakhir. Selain itu, sebagaimana dituturkan oleh murid beliau, K. Ach. Maimun Syamsuddin, M. Ag, juga memiliki al-musalsalat semacam hadits-hadits seperti cara memakai sorban yang dipakaikan oleh Rasulullah kepada seorang sahabatnya dan terus diturunkan kepada para muridnya hingga kepada beliau.
Tak salah, jika sekalipun tanpa gelar formal (ijazah formal), beliau dipercaya untuk mengisi kuliah materi Ilmu Hadits di STIKA (sekarang adalah Instika). Di samping itu, pada tahun 1991 beliau juga dipercaya menjadi mentor pada kursus yang dilaksanakan oleh Markaz Dirasah al-Lughah. Hebatnya, beliau tidak hanya andal dalam berbahasa Arab. Tetapi juga mengerti banyak kultur Arab. Sehingga, hal itu menjadi senjata yang cukup ampuh bagi beliau dalam mengajar Bahasa Arab.
Pencinta Ilmu, Pencinta Buku
Kegigihan dalam menuntut ilmu membawanya menjadi pribadi yang mengagumkan. Belajar di Mekah selam 10 tahun menjadi suatu keniscayaan kepada beliau hingga harus bergelar ahli hadits. Tak pelak, koleksi kitabnya nyaris berisi tentang kitab-kitab hadis. Di samping itu, beliau juga dikenal ketat dalam soal pendidikan bagi anak-anaknya, utamanya dalam soal pemikiran. Yang lebih penting untuk diteladani, ternyata beliau tidak membatasi para putera-puterinya dalam hal belajar. Beliau begitu open minded, tidak mendikotomikan ilmu, ilmu agama atau umum bagi beliau sama-sama penting. Sehingga, beliau adalah sosok pencinta ilmu. Hal itu nampak akan kecintaannya terhadap pendidikan.
Pernah suatu ketika, kira-kira tahun 1994 beliau punya ide untuk mendirikan Madrasah Diniyah guna sebagai wadah bagi santri atau siswa yang sekolahnya pagi. Dalam artian, beliau ingin menampung siswa SMP yang sudah lulus SD. Dulu, semasa beliau menjadi pengasuh di Kebun Jeruk, siswa yang kelas 1 di SMP, di MD-nya adalah kelas 5, kelas 2 di SMP, di diniyah adalah kelas 6. Nah, ide beliau adalah ingin mendirikan sebuah wadah bagi siswa SMP yang sudah kelas 3. Ide itu sempat terealisasi, dan berjalan sebagaimana mestinya. Namun lama-kelamaan berhenti di tengah jalan. Karena jumlahnya kian hari semakin sedikit. Akhirnya, hanya tinggal wadah, isinya punah ditelan zaman.
Seperti yang telah kita kenal, beliau adalah sosok yang begitu gigih dalam persoalan ilmu. Sehingga ide-ide cemerlang pun terus bermunculan. Setelah punya ide mendirikan MD, beliau juga punya ide mendirikan sekolah TK/RA. Dari saking semangatnya, beliau sampai mengadakan kursus bagi guru yang dipersiapkan untuk mengajar di sekolah TK. Kursus mengeluarkan guru-guru hingga 2 angkatan. Sayang seribu sayang, ide itu hanya sebatas ide, tidak dapat direalisasikan. Padahal, ide itu luar biasa. Jika terealisasi akan menjadi wadah yang cukup taktis bagi masyarakat sekitar pada khususnya, dan Guluk-Guluk pada umumnya.
Kita harus yakin bahwa dengan ilmu segala sesuat bisa dicapai. Itulah mungkan rangkaian kata yang cukup tepat untuk mendeskripsikan kegigihan Kiai Waqid dalam hal ilmu. Sehingga, beliau tampil sebagai ulama yang punya pengetahuan luas, utamanya dalam bidang keagamaan, khususnya hadits. Sisi lain kecintaannya terhadap ilmu, ternyata beliau juga pencinta buku. Hal itu juga tampak dari koleksi pustaka pribadinya yang melimpah ruah. Kira-kira kalau dijumlah sekitar 2.500-an buku dan kitab berjejer, menghiasi kamar pribadinya.
Mengapa bisa sebanyak itu? Karena seperti yang dituturkan oleh salah satu murid beliau, Abdul Wahid Hasan, M.Ag, bahwa ketika beliau bepergian pasti selalu menyempatkan diri ke toko buku. Bahkan menurutnya, di antara para guru, para kiai, di Madura, tak ada yang memiliki koleksi pustaka selengkap beliau, khususnya dalam bidang agama. Mungkin, kalau sekarang diuangkan bisa mencapai 1 M. Buku-bukunya juga sangat lengkap, tidak hanya dipadati oleh buku dan kitab an sich, tetapi lengkap dengan kamusnya. Baik yang bebahasa Indonesia, Arab maupun Inggris, hingga kamus hewan pun juga ada. Keistimewan lain dari beliau, ternyata beliau juga memiliki koleksi buku dan kitab-kitab langka yang judulnya pun jarang (bahkan tak pernah) di dengar orang. Seperi buku Madura 4 Zaman. Sungguh luar biasa kecintaannya terhadap buku. Hal ini menandakan bahwa beliau memang ”amat sangat’ mencintai ilmu.
KH. Moh Waqid Khazin: Pribadi Supel dan Sosok Ulama yang Dermawan
Kiai Waqid dikenal sebagai pribadi yang supel dan mudah akrab kepada siapa saja. Ketika mengajar, beliau dikenal sebagai guru yang sangat dekat dengan murid-muridnya. Saat menjadi pengajar di kursus yang dilaksanakan oleh Markaz Dirasah al-Lughah al-Arabiyah, PPA. Latee, beliau lebih tampak seperti ayah daripada seorang guru; amat akrab, nyaris tanpa jarak, jauh dari formalitas. Kedekatan yang penuh keakraban itu semakin tampak tulus ketika beliau ikut serta dalam studi komparatif ke PP Al-Qadiri, Jember dan PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Di bus yang beliau tumpangi bersama rombongan, sungguh yang nampak bukan kiai, ulama, atau guru, tapi teman bagi murid-muridnya. Beliau foto bersama dan bergandengan tangan dengan banyak murid. Beliau melakukannya seolah tanpa beban dan penuh ketulusan.
Selain itu, beliau mempunyai pergaulan yang sangat luas. Mulai dari santri, orang-orang gelandangan, rakyat kecil, pejabat, gubernur bahkan sampai level menteri. Sang kakak pun mengakui kalau Kiai Waqid adalah pribadi yang supel dan sangat pintar merawat hubungan. Dari saking pintarnya merawat hubungan, mantan Menteri Pertanian pernah sowan sendiri kepada beliau. Di samping itu, beliau juga berteman baik dengan para Tokoh Nasional dan Sultan Jogja. Pribadi supel itu yang membuat beliau mendapat tempat istimewa di hati semua kalangan, utamanya masyarakat. Tak jarang, beliau sering diundang untuk mengisi ceramah di berbagai tempat. Lain dari itu, Kiai Waqid juga aktif di organisasi sosial keagamaan seperti, kompolan. Maklum, sebagai ulama beliau punya tugas melayani masyarakat. Sementara di mata keluarga, beliau juga dikenal akrab dan nyaris tanpa jarak. Beliau sering mengajak main putera-puterinya, menggendong sembari diajak bercerita.
Pengaruh masa kecil yang penuh uji karena terlahir sebagai anak yatim, ternyata berpengaruh kepada kepribadian beliau ketika dewasa. Sehingga, selain pribadi yang supel, Kiai Waqid juga dikenal sebagai sosok ulama yang dermawan. Itu bisa kita telusuri dari peran beliau yang aktif menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Bahkan beliau mengelola yayasan yang memang diperuntukkan bagi anak yatim dan fakir miskin, yaitu Yayasan al-Kafil. Sekarang yayasan itu masih ada, ditangani oleh KH. Abd. Basith Bahar.
Keprihatinan melihat berbagai persoalan yang malang melintang membuatnya berpikir keras untuk mengatasinya. Tak terlalu berlebihan kiranya jika beliau selain sosok kiai yang dermawan, beliau juga sangat teguh dalam memperjuangkan kebenaran, sekalipun harus menentang arus dan mengorbankan keselamatan dirinya. Konsep amar ma’ruf tertanam betul dalam dirinya. Sampai-sampai beliau tidak rela kalau Islam ternoda oleh hal-hal yang tidak berbudi. Buktinya, ketika ada hiburan yang menyimpang terhadap nilai-nilai Islam, semisal orkes, beliau cukup sigap untuk membubarkannya. Tak heran, jika di Guluk-Guluk semasa beliau masih hidup, hampir hiburan-hiburan itu tidak mentradisi. Sekalipun beliau pernah mendapat teguran dari Kiai Ishom, Kiai Basyir dan Kiai Amir, beliau tetap teguh memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar. Tetap berjuang untuk menegakkan Islam dan melayani umat.
Berpulang ke Rahmatullah
Di saat perjuangan beliau belum selesai, sayang seribu sayang, kiai pencinta ilmu dan pelayan umat ini tidak dikaruniai umur panjang. Beliau wafat tepat pada hari Jumat, 16 Januari 2004, sekitar jam 05.00 pagi. Berbagai kalangan merasa sangat kehilangan. Andai waktu bisa diputar kembali, mungkin banyak orang setuju jika beliau tetap hidup, menjadi pelayan umat yang sejati. Tak salah, ketika beliau selesai dikafani dan hendak dishalati, dari saking cintanya pada beliau, ada orang yang memaksa untuk membuka kain kafannya agar bisa melihat dan menciuminya. Ini membuktikan bahwa beliau merupakan sosok yang senantiasa dicintai oleh semua orang. Jejak perjuangannya tak akan pernah dilupakan; jasa-jasanya bakal terus dikenang serta perilakunya akan menjadi panutan. Semoga amal ibadah serta perjuangannya mendapat ridla Allah subhanahu wa ta’ala. Amien ya Rabbal Alamin.
Wallahu A’lam
(Tim Penulis: Syamsuni & Ach. Qusyairi Nurullah).
Disarikan dari hasil wawancara dengan KH. Tsabit Khazin, KH. Wadud Munir, K. Ach. Maimun Syamsuddin, M. Ag, Abdul Wahid Hasan, M. Ag, dan Ny. Hanna Al-Ithriyyah.
Alhamdulillah,
BalasHapusDalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.
Terimakaih telah menulis tentang Almarhum KH Waqid Khazin. Mengenang beliau adalah mengenang kebaikan, mengenang, ketulusan, mengenang kesungguhan, mengenang keberanian. Akhlak beliau sangat indah.
Seorang ulama mengatakan bahwa tujuan hidup bukan untuk alam materi ini, tapi untuk sesuatu yang lebih mulia. Tujuan hidup adalah mencapai kebaikan murni yang tidak ada kejahatan di dalamnya, mencapai cahaya yang terang yang tidak ada kegelapan didalamnya.
Terimakasih Kyai Waqid