Sabtu, 12 Maret 2011

Surga Penulis Instika

Oleh: Hairul Anam
(Ketua LPM Instika Masa Khidmat 2010/2011)

Saat saya menghadiri undangan presentasi hasil penelitian di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya beberapa minggu yang lalu, seorang mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta memberikan komentar terkait dengan mahasiswa pesantren. Menurutnya, keheranan tak lagi berlaku ketika ada mahasiswa pesantren yang terlibat aktif dalam dunia kepenulisan, sebab kemampuan mahasiswa pesantren dalam mengimbangi arus peradaban karya sudah tidak diragukan lagi.
Pada kesempatan itu, saya berbagi cerita dengannya bahwa budaya berkarya di Instika, sebagai kampus yang dinaungi pesantren, tidak dapat dilepaskan dari sistem kaderisasi kepenulisan yang berjalan secara intensif dan berkesinambungan di dalamnya. Belum lagi kepedulian para penulis senior dan dosen beserta pimpinan kampus yang sungguh patut ditiru sekaligus layak dibanggakan.
Saya cermati, sistem kaderisasi kepenulisan yang digerakkan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Kampus Putih ini mengedepankan esensi dan proses. Sedangkan formalitas dan hasil tidaklah begitu diutamakan. Sebutlah misalnya pembentukan komunitas penulis. Minggu kedua di bulan Mei tahun ini, pembentukan komunitas penulis sebagai manifestasi dari program kerja LPM direalisasikan. Ada delapan belas mahasiswa yang bergabung. Prosesnya, diawali dengan pemberian peluang kepada mahasiswa yang tertarik belajar menulis bersama pengurus LPM.
Mereka diklasifikasikan menjadi lima kelompok. Di masing-masing kelompok terdapat satu pengurus senior LPM yang didaulat sebagai pendamping sekaligus pembimbing. Setelah melalui perbincangan santai di kantin Instika tertanggal 9 Mei 2011, disepakatilah bahwa semua peserta akan menyetor tulisan setiap hari kepada pembimbing minimal satu halaman folio bergaris. Manakala nantinya ada peserta yang tidak menyetor dalam sehari, maka itu dinilai ‘utang karya’ dan wajib diganti pada hari berikutnya.
Model yang menitikberatkan pada proses di atas ialah sebagai perwujudan dari kesadaran bahwa menulis bukanlah ilmu, melainkan keterampilan yang perlu diasah setiap hari. Selain itu, membaca dan berdiskusi juga penting dilabuhkan dalam lautan kepenulisan. Sebab, jika menulis diumpamakan dengan berperang, maka membaca adalah senjatanya, dan diskusi merupakan strateginya. Di sinilah ungkapan Ahmad Khotib, “Jangan silau pada hasil, tapi banggalah pada proses!” menemukan titik pijaknya.
Dalam konteks itu, sebagaimana dinyatakan di atas, kepedulian para dosen dan pimpinan kampus amat tinggi. Tiap kali ada mahasiswa yang ikut lomba kepenulisan dan butuh biaya pendaftaran, pimpinan kampus tak sungkan-sungkan menanggungnya. Para dosen pun tidak jemu memberikan masukan, pengarahan serta hadiah terhadap karya yang ditorehkan mahasiswa.
Bagi mahasiswa yang mampu menjadi finalis dalam suatu lomba kepenulisan di luar Madura, biaya transportasi dan makan dibiayai Instika. Ketika ada yang juara, bisa dipastikan Instika menyediakan hadiah khusus sebagai penghargaan atas prestasi mengharumkan nama almamater tercinta. Alhasil, mahasiswa Instika cukup berbekal keberanian dan ketekunan untuk selalu berkarya karena Instika telah menyediakan segala hal yang dibutuhkan dalam menggenjot proses berkarya tersebut.
Tidak hanya itu, para penulis Instika telah lama dipercaya oleh masyarakat yang bergelut di dunia pendidikan dan organisasi. Tak jarang para penulis Instika, dalam hal ini pengurus LPM, diundang untuk mengisi pelatihan jurnalistik dan kepenulisan di lembaga pendidikan dan atau organisasi tertentu. Sehingga, para penulis Instika mampu menjadi ‘virus’ dalam berkarya yang mampu menyebar ke seantero Madura.
Adanya stimulan itu, menguncup pada kompetisi kuat antar-mahasiswa dalam berkarya; kompetisi dalam lomba kepenulisan dan upaya menembus media massa, baik yang berskala lokal, regional, maupun nasional terpelihara dengan baik. Persaingan positif dalam berkarya pun selalu mewarnai Instika. Sungguh, menjadi penulis di Instika tak ubahnya hidup di Surga.[]  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar