Mewujudkan perubahan tidaklah mudah. Butuh komitmen dan kerja keras serta pengorbanan. Tanpa itu, perubahan hanya akan menjadi utopia belaka. Demikian pun dalam proses perubahan status STIKA ke Instika. Butuh kerja keras, perjuangan dan bahkan pengorbanan yang tak terkira. Berikut penuturan Bapak Fathor Rachman Usman, M.Pd., ketua tim pelaksana perubahan STIKA ke Instika, kepada Ah. Fawaid dan Hajar dari Fajar, saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (11/05) sore.
Bagaimana awal mula perubahan status dari STIKA ke Instika?
Ceritanya sebenarnya berangkat dari adanya desakan dari Kopertais IV Surabaya bahwa STIKA sudah layak untuk mengembangkan diri menjadi institut. Bahkan kalau perlu membuka jurusan eksak atau humaniora. Awalnya, desakan tersebut direspon setengah hati oleh STIKA. Sebab, melihat SDM, sarana dan prasarana, perkuliahan dan semacamnya yang perlu dipersiapkan. Tapi lama kelamaan bersamaan dengan terbentuknya Forum Sarjana Annuqayah, alumni juga ikut mendesak agar segera mengembangkan diri dari sekolah tinggi menjadi institut. Dengan menambah beberapa program studi sesuai dengan permintaan masyarakat. Itu yang kemudian menjadi komitmen kita, di samping ada peluang dari Kopertais, dan Kementrian Agama Pusat karena kita memiliki status akreditasi A. Akreditasi ini bisa dimanfaatkan, termasuk dalam perubahan alih status. Itulah yang kemudian mendorong rektor membentuk tim perubahan status. Dan kebetulah saya yang ditunjuk rektor sebagai ketua tim pelaksana.
Kira-kira apa yang melatarbelakangi Kopertais menilai bahwa STIKA layak berubah status?
Tentunya banyak hal, terutama perguruan tinggi kita yang mendapatkan akreditasi A khususnya jurusan PAI. Kemudian melihat berbagai prestasi perguruan tinggi kita yang sering dibaca oleh Kopertais mulai dari tingkat mahasiswanya yang sering juara tingkat nasional, dan juga dosennya yang produktif dan segala macamnya. Termasuk juga dari sarana prasarana dan kesiapan gedung perkuliahan serta kesiapan yang sifatnya software semisal pengembangan kurikulum. Karena itulah, STIKA dipandang oleh Kopertais itu layak (untuk berubah institut, red.).
Apa saja syarat yang diajukan oleh Kopertais?
Bersamaan dengan adanya dorongan dan respon yang mulai gigih dari pimpinan dan pengelola akademik Instika, kemudian pimpinan studi banding ke berbagai perguruan tinggi yang lain termasuk juga ke Kopertais terkait dengan hal-hal yang perlu dipersiapkan, baik perangkat lunak maupun perangkat kerasnya, untuk menyukseskan perubahan status ini. Termasuk juga pembukaan program studi baru. Kopertais memberikan persyaratan yang sifatnya teknis maupun personal dan proposal yang perlu disiapkan seperti apa. Nah itu kemudian kami pelajari. Itu yang memacu semangat kami untuk melakukan diskusi bersama dan memusyawarahkan serta menganalisis, dan STIKA kayaknya sudah punya. Hanya beberapa aspek yang belum terpenuhi, mulai dari SDM, gedung perkuliahan belum dimiliki secara penuh. Semua persyaratan itu kita diskusikan selama kurang lebih dua bulan untuk mewujudkan peralihan status.
Adakah persyaratan yang terasa sulit bagi STIKA untuk mewujudkan itu?
Kesulitan yang sangat berat yakni, pertama mengenai persyaratan yang bentuknya sangat wajib. Seperti, minimal memiliki tiga fakultas yang masing-masing mempunyai dua program studi. Dan memikirkan tiga program studi itu terasa sangat berat karena harus melakukan analisis secara tajam dan tepat, demi mengimbangi tuntutan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Memikirkan prodi baru saja hampir menghabiskan waktu kurang lebih satu bulan. Memang perlu dimatangkan, kenapa buka ini? Apa analisisnya? Kira-kira lulusannya ke depan gimana? Apakah dosennya mudah didapat atau tidak? Karena ketika kita membuka prodi ini, minimal kita harus punya enam dosen tetap, yang harus sesuai atau linier dengan prodinya. Misalnya kita mau membuka prodi Bahasa Arab, maka itu harus linier dan juga yang menjadi dosen tetap harus S2 Bahasa Arab. Itu satu prodi, kalau membuka tiga prodi lalu siapa yang akan menjadi dosen tetapnya? Itu sungguh sulitnya luar biasa.
Yang sulit juga ketika kita hendak membuka prodi Tasawuf Psikoterapi yang disetujui oleh Dewan Masyayikh, terkait dengan dosennnya itu. Juga, ketika proposal sudah selesai, kita kebingungan bagaimana “meloloskan” proposal itu, karena terus terang dalam beberapa tahun ini, jaringan kita cukup lemah sehingga agak kesulitan cara memasukkannya dan memlalui pintu siapa dan lobi bagaimana untuk bisa lolos. Akibatnya, menunggu turunnya begitu lama, sekitar enam bulanan,jadi cukup terasa sulit lah.
Lalu apakah Instika sudah mendapatkan enam dosen di masing–masing prodi itu tadi pak?
Ya, berkat usaha dan kerja keras tim, melobi para dosen-dosen yang dimiliki Instika untuk mencarikan teman-temannya yang mungkin dulu satu kampus yang kebetulan di jurusan Bahasa Arab, Ekonomi Syariah, barangkali berminat menjadi dosen di Instika, dan ijazahnya bisa dipergunakan untuk persyaratan administratif, tentu mereka juga diminta untuk menulis surat pernyataan akan kesiapannya mengajar di Instika. Alhamdulillah banyak ya dan kita juga sudah punya enam dosen tetap di masing-masing prodi, di jurusan Bahasa Arab, Ekonomi Syariah dan Tasawuf Psikoterapi. Jadi, tinggal menunggu ijin pembukaan prodi baru ini, kalau sudah turun mereka akan dihubungi lagi, dengan komitmen dan perjanjian yang sudah ada.
Jadi mereka bukan hanya memberikan ijazahnya tetapi juga ingin mengabdikan diri?
Ya, mereka memang membuat surat pernyataan bermaterai, jadi setiap dosen yang kita hubungi dengan komitmen sesuai perjanjian di surat pernyataannya, kita minta ijazahnya dan juga kesiapannya untuk mengajar. Bahkan kita juga minta identitas atau curriculum vitae-nya, biar kita mudah menghubungi, kontaknya di mana.
Apakah SK perubahan status STIKA ke Instika dapat kita miliki selamanya, tanpa ada masa tenggangnya misalnya?
Oh iya, perubahan itu memang ada masanya, dibatasi kurang lebih 2 tahun, sampai betul-betul kita siap berubah status dari sekolah tinggi ke institut. Syaratnya harus memenuhi itu, membuka tiga fakultas dan masing-masing fakultas 2 prodi. Jika selama dua tahun (terhitung sejak tanggal 6 oktober 2010 lalu) perguruan tinggi kita tidak berhasil membuka 3 prodi itu, maka izin perubahan status akan dicabut karena perguruan tinggi ini dianggap tidak siap. Tetapi kita sudah berusaha untuk mempertahankan status ini. Pimpinan juga sudah membuat tim-tim pembukaan prodi-prodi baru. Kalau di Bahasa Arab, saya ketua timnya, termasuk di Ekonami Syariah dan Tasawuf Psikoterapi, saya juga termasuk anggota timnya. Kalau proposalnya sudah masuk, jadi tinggal nunggu turunnya (izin pembukaan prodi baru, red.).
Kira-kira kapan dibuka prodi-prodi barunya?
Kalau berdasarkan mekanisme dan aturan yang ada dari Kementerian Agama, waktu pengajuannya pada bulan Februari dan Maret, kita sudah mengajukan tiga prodi baru itu dan sudah ada di meja Kopertais dan Dirjen Diktis (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Islam) untuk dipelajari. Dalam aturan, bulan Juni ini sudah turun dan kalau benar, maka pada bualan Juli, tahun ajaran baru, kita sudah boleh membuka prodi baru. Makanya di brosur-brosur yang kita sebarkan itu, kita masih membuka tiga prodi yang sudah ada itu, dan masih menunggu izin penyelenggaraan pembukaan ini. Jika benar turun, maka mahasiswa yang awalnya semester 2 di jurusan Tafsir Hadis misalnya itu sudah boleh pindah ke prodi yang baru itu, tapi jangan sampai semester 3, karena kalau semester 3, berarti sudah 2 tahun masa SK-nya itu, dan nggak mungkin.
Kalau misalkan dalam pembukaan prodi baru itu, itba-tiba tidak ada mahasiswanya, apakah masih layak untuk menyandang status institut itu?
Itulah memang yang menjadi beban saat ini. Kalau misalnya kita membuka Prodi Bahasa Arab, Tasawuf Psikoterapi dan Ekonomi Syariah itu, ternyata tidak ada mahasiswanya, maka secepatnya harus dianalisis kembali, karena analisis kemarin berarti kurang tepat sasaran. Sebenarnya, awalnya di Fakultas Tarbiyah, tidak hanaya Bahasa Arab, tetapi juga Matematika dan Bahasa Inggris, proposalnya juga siap karena saya kemarin ketua tim untuk jurusan itu. Bahkan kemarin kita sudah mendapat izin untuk membuka prodi itu, hanya saja ketika ke Jakarta, kita melobi Dirjen Diktis, Prof. Dr. Mahasin, MA., beliau mengatakan untuk Perguruan tinggi yang berbasiskan Islam tidak diperkenankan membuka prodi-prodi umum, kecuali ada persyaratan teknis yang itu masih kita cari.
Lalu, langkah Instika ke depan kira-kira seperti apa pak?
Kalau cita-cita para Masyayikh Annuqayah termasuk juga para Alumni Sarjana Annuqayah, kita tidak hanya menjadi institut tetapi juga universitas. Dan mereka semua siap untuk membantu dan mendukung. Kemarin ketika kita kesulitan untuk membuka prodi umum, oleh kopertais tidak apa-apa, sekalian buka perguruan tinggi lain, kalau sudah berjalan nanti bisa disatukan. Kita sudah banyak alumni dari sini yang sukses memiliki hubungan baik dengan rumah sakit, sangat mendorong kepada Instika untuk membuka prodi Akbid (Akademi Kebidanan) dan Akper (Akademi Keperawatan). Dosen-dosennya siap untuk didroup dari Rumah Sakit Kalianget. Bahkan, untuk mendirikan prodi Akbid dan Akper, mereka siap membantu mencarikan dananya, mungkin ke rumah sakit-rumah sakit lain. Dosennya pun mereka siap, asalkan Annuqayah siap. Persyaratan untuk mendirikan satu prodi baru saja minimal punya uang 300 juta, itu dana awalnya, apalagi sekelas Akbid dan Akper itu jelas lebih mahal. Jadi kalau kayak kita kemarin kita membuka 3 prodi, maka minimal kita punya uang 900 juta. Kalau kampus swasta memang lebih mudah mendirikan prodi baru, beda dengan negeri karena dananya dari negara, dari pegawai barunya dan kajur-kajurnya digaji negara. Swasta lebih mudah karena tidak ada sangkut pautnya dengan keuangan negara, cukup ada bukti rekening kita punya uang Rp. 300 juta, administrasi, kurikulum lengkap, gampang. Makanya saya optimis tahun ajaran baru ini kita sudah bisa membuka prodi baru itu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar