Optimalisasi usaha harus membingkai setiap perubahan. Terutama perubahan sebuah lembaga pendidikan semacam Instika, dari yang sebelumnya berstatus sekolah tinggi ke institut. Tampaknya, perubahan tersebut masih dipandang sebatas perubahan nama saja. Sedangkan perubahan yang mengarah pada kualitas, masih dalam tanda tanya besar. Instika, belum siap menerima perubahan itu. Berikut petikan wawancara Hairul Anam dan Abd. Majid dari Fajar dengan Direktur Pascasarjana STAI-Qom Bungah, Gresik, sekaligus dosen senior di Instika, M. Afif Hasan, saat ditemui di Ruang Program Studi pada tanggal 11 Mei 2011.
Bagaimana bapak mencermati perkembangan Instika selama ini?
Dalam pandangan saya, perubahan di Instika baru perubahan nama, dari jabatan ketua ke rektor, dari Pembantu Ketua I ke Pembantu Rektor I, dan seterusnya. Itu saja. Tapi dari sisi job description masing-masing masih belum terlihat. Kalau job-nya tidak jelas, tentu tidak mudah melangkah kepada yang lebih besar, bukan?
Apa yang melatarbelakangi hal itu?
Untuk mendirikan sebuah lembaga harus ada studi kelayakan. Perubahan status dari sekolah tinggi ke Institut, tentu harus melihat segalanya: mulai dari sarana prasarana, sumber daya manusianya, dan sebagainya. Intinya, tri civitas akademika harus dianalisis semua, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kecukupan dari segi keuangan, misalnya, akan menggaji sekian orang dengan kejelasan pemasukan tentulah perlu dianalisis terlebih dahulu secara optimal. Saya tidak tahu apakah dari Instika ini sudah melakukan analisis seperti itu. Namun, bila melihat kenyataannya, kita tidak akan kesulitan mencari jawabannya.
Maksudnya?
Begini, senat sebagai badan legislatif di Instika saja masih belum ada. Padahal, senat itulah yang membuat kebijakan semuanya. Selama ini, sekali lagi, hal semacam itu belum ada kejelasan di Instika ini.
Tertanggal 7 Desember 2010, alih status STIKA ke Instika diresmikan. Komentar bapak?
Secara de jure (hukum), memang sudah oke. Tapi, de facto-nya masih belum nampak. Yang namanya institut itu mestinya ada kejelasan mana kantor dekan, mana kantor rektor, kantor jurusan, dan lainnya beserta kejelasan tugas-tugasnya. Semua itu belum ada di sini. Dan yang paling ruwet ialah di BAAK (Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan) yang ditangani hanya satu orang, Pak Bustami. Seandainya Pak Bustami itu komputer, mungkin sudah hang, sebab memorinya tak mencukupi karena memikirkan banyak hal yang mestinya sudah didistribusikan ke semua jurusan. Sekarang yang paling miris lagi ialah masalah keuangan. Keuangan tersebut mestinya atas dasar rekomendasi senat. Gimana mau membelanjakan uang itu kalau tidak ada senatnya?
Mengapa senat bisa tidak ada?
Karena memang ketua senat itu kan rektor atau kalau sekolah tinggi ialah ketua. Kenapa tidak ada, nah silahkan anda tanya kepada Bapak Rektor. Jadi, simpul pertama yang sangat berat di sini ialah tidak ada upaya kuat untuk membangun komunikasi. Dalam hal ini adalah networking, jaringan dengan beragam lapisan. Ini belum diperhatikan di Instika. Sebetulnya, gagasan perubahan ke Institut ini sudah mulai dulu sewaktu ketuanya K. Ah. Mutam Muchtar. Gagasan tersebut belum terwujud kala itu karena memang masih dalam proses perluasan jaringan dan pembenahan demi pembenahan masih dilakukan. Sekarang saja yang namanya kepangkatan dosen saja tidak diurus. Andaikan diurus, sudah lama saya menjadi profesor, hahahaha.
Berarti, alih status ke institut ini belum siap?
Iya, saya memandangnya belum siap sama sekali. Memang sudah ada “siap grak!” tapi belum melangkah.
Bagaimana menyikapi nama yang sudah berubah ini?
Pertama, jangan buka luka lama (jangan buka front baru). Sebab, selama ini ada kesan ‘membikin geng’ di internal Instika. Kedua, semua lapisan harus diakomodasi, jangan ada diskriminasi. Ketiga, anggota senat diefektifkan. Sebab, senat ini adalah think tank, lembaga pemikir demi kemajuan institusi. Keempat, ini yang terpenting, membangun komunikasi (jaringan)/silaturrahim.
Bagaimana dengan penambahan jurusan?
Sekali lagi, di Instika belum ada master plan-nya. Penambahan jurusan karena tuntutan perubahan status ke Institut ini menambah beban akademik. Turunnya SK, misalnya. Kalau tidak disertai usaha yang optimal, SK tersebut bisa dicabut. Ini kan memalukan nantinya.
Apakah perubahan ini bisa berpengaruh positif terhadap perkembangan pendidikan di Instika khususnya dan PP Annuqayah secara umum?
Menurut saya, tergantung kepada siapa yang mengendalikan. Kalau situasinya tetap yang seperti sekarang, hemat saya, justru menjadi ancaman besar bagi pendidikan di sini. Instika ini saya analogikan dengan sebuah truk yang jarak tempuhnya misalkan 40 km/jam. Kalau bebannya ditambah, akan berakibat fatal manakala tidak diimbangi dengan tambahan energi.
Terhadap kompetensi lulusannya?
Hemat saya, kompetensi lulusan ini yang utama ialah ditentukan oleh kompetensi dosen. Asumsinya kan kalau dosennya profesional yang sesuai dengan dasar keilmuannya, maka besar kemungkinan lulusannya pun akan terpengaruh juga. Misalkan dosen Tasawuf dan Psikoterapi, tentu lucu kalau mengambil dosen yang dari lulusan Tarbiyah. Bagitu pula yang lainnya.
Selanjutnya ialah perpustakaan dan pelayanan terhadap mahasiswa. Kita sudah tahu sendiri bagaimana kondisi perpustakaan di Instika, pengelolaannya masih jauh dari harapan. Begitu pula berkenaan dengan pelayanan terhadap mahasiswa. Mestinya mahasiswa yang mau nanya sesuatu terhadap pihak kampus, dilayani dengan baik. Tapi, itu belum diperhatikan secara utuh. Kadangkala, ada mahasiswa datang ke karyawan, justru tidak diacuhkan.
Mengapa sampai seperti itu?
Minimnya responsibility dari bawah (baca: karyawan, red.) ini tidak terlepas rentetannya dari atasan. Inilah yang tak jarang saya dengar dari keluhan mereka. Jadi, dosen, perpustakaan, dan pelayanan adalah hal yang paling pokok dalam memengaruhi lulusan sebuah PT.
Penambahan jurusan baru ini harusnya diiringi dengan persiapan segala hal, semisal bangku dan sebagainya. Namun, sampai sekarang saya tidak melihat persiapan itu. Hanya sekadar menunjuk dekan, sekretaris dekan dan lainnya, tapi tugasnya tidak jelas. Ini sangat berat. Intinya, persoalan manajemen masih memilukan; mulai dari manajemen akademik, keuangan dan sarana prasarana masih amburadul. Bukti kecilnya itu, perampungan nilai KHS yang tak tepat waktu.
Apa saja yang mesti dibenahi oleh Instika bila dibandingkan dengan PT lain yang ada di luar Madura?
Kelemahan mendasar Instika dibanding PT lain ialah lebih pada manajemennya. Kalau sudah menyangkut manajemen, kan sudah menyangkut orang, benda, ruang atau waktu. Pimpinan Instika masih belum mempunyai ability, kemampuan. Sebetulnya, menurut saya, modal menjadi ketua atau rektor ini ialah bukan modal kesarjanaan semata. Kemampuan untuk mengelola (organizing)-lah yang paling utama. Cobalah tanyakan kapan waktu wisuda, biasanya kata yang digunakan adalah “kira-kira”, tidak ada kepastian karena Instika tak memiliki kalender akademik. Kalau punya kalender akademik, mahasiswa akan banyak terbantu. Misalnya terkait dengan pembayaran SPP. Kalau ada kalender akademiknya, mahasiswa dari awal bisa mempersiapkan pembayaran SPP-nya. Selama ini kan papan pengumuman yang diandalkan, sehingga adakalanya memunculkan keterkejutan dalam diri mahasiswa.
Terakhir, bagaimana harapan dan pesan bapak berkenaan dengan perubahan status kampus kita?
Saya mengharapkan kepada mahasiswa, terutama lembaga kemahasiswaan seperti LPM, BEM, DPM, Kepramukaan, dan lainnya agar membudayakan sikap kritis. Yakni, kritis menghadapi persoalan-persoalan kita ini. Kampus kita ini sangat potensial untuk maju karena input-nya sudah punya pasar dan out put-nya tak sedikit yang bisa diandalkan. Saya kemudian berpikir; apakah tidak berdosa menangani kampus ini secara tidak serius, padahal mahasiswa selalu dituntut selalu serius baik dari segi pakaian maupun keaktifan dalam belajar. Saya berpesan agar sarana prasarana ditangani secara serius, begitu pula dengan persoalan lainnya. Terpenting ialah bangunlah silaturrahim yang kokoh, sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar