Oleh Roychan Fajar (Pengurus Lpm Instika)
Beberapa
malam yang lalu, saya sempat nimbrung bersama teman-teman Ijtihadul Falasifah
dalam salah satu kajian filsafat di “padepokan agung” (begitulah sebutan bagi
sebagian banyak teman-teman saya), pada bagian saya itu, saya mendapat tugas
membedah epistimologi pemikiran enam tokoh filosof Yunani kuno, mulai dari
Thales, Anaximanders, Anaximanes, Heraclitus, Parmenides, dan Empedocles.
Hal yang menarik bagi saya adalah,
ketika menbedeh epistimologi pemikirannya Heraclitos, dalam gagasannya ia
mencirikan dunia dengan sebuah keterbalikan. Apabila kita tak pernah merasakan
pahitnya cinta, maka tentu kita tak akan merasakan manisnya cinta, dan jangan
pernah berharap untuk kenyang, apabila kita tak merasakan kelaparan terlebih
dahulu.
Konsep teoritis keterbelikan tersebut,
adalah sebuah perekat dunia, apabila proses tersebut berhenti begitu saja, maka
hancurlah dunia beserta isi-isinya. Proses tersebut akan terus bergerak,
mengalir pada kurun waktu yang tak terbatas.
Gagasan dari Heraclitos ini, sesekali
saya meng-ia-kan, dengan kata lain ''sepakat''. Dunia tak lain memang dicirikan
oleh dua ciri yang kontradiktif dari
gagasan yang terus mengalami gerak dialektis secara bergilir menempati
poisisinya. Jangan pernah bertanya kapan proses ini akan berakhir, Heraclitos
tak pernah memprediksinya, namun yang pasti apabila proses ini berhenti secara
tiba-tiba maka musnahlah manusia, beserta benda-benda yang ada di alam raya
ini.
Ya, benar! Saya merasakannya hari ini,
dari konsepi yang dibangun oleh Heraclitos itu; antara kebahagiaan dan
kesedihan. Awalnya, memang terasa bahagia yang tak terkira, canda dan tawa
seakan menjadi bagian yang pasti selalu terjadi dalam alur waktu yang terus
bergerak dalam kehidupan 'aku' dan 'dia'.
Perjalanan dari hari ke hari
selanjutnya, selalu dan senantiasa kami jalani bersama. Namu begitulah, di
balik manisnya sebuah kebersamaan akan tercipta sebuah perpisahan. Saat
mengalami perpisahan inilah, kesedihan mulai hinggap dalam dimensi psikologis
manusia. Sehingga, tak heran apabila seorang pribadi yang menderitanya
bertingkah yang tak sewajarnya. Entah tiba-tiba suka menyendiri, terlihat
murung, dan frustrasi akibat kesedihan yang menyelimutinya itu.
Apakah nanti akan tercipta sebuah
kebahagiaan kembali? Itu sudah barang pasti, tapi tak ada seorang pun yang tahu
dalam bentuk “apa” kebahagiaan tersebut akan hadir menghampirinya kembali.
Proses panjang menuju kebahagian itu, siapa pun akan merasa jenuh untuk
menunggunya. Tak jarang pula, ada seseorang yang sampai menyiksa dirinya bahkan
sampai bunuh diri karena sedih—yang kini lebih akrab dikenal sebagai keadaan
galau.
Penderitaan tersebut, akan terus
berlanjut, tak ada seorang pun yang mampu untuk membendungnya. Hanya bisa
berharap dan bermimpi dalam kekosongan angan bagi manusia dalam deritanya.
Bukankah dalam salah satu mitologi Yunani, “Kotak Pandora” yang diyakini oleh
para penduduk Yunani Kuno sebagai asal-muasal lahirnya sebuah kesengsaraan,
penyakit, dan kesedihan harus diatasi oleh harapan yang terus dipuja? Semoga,
dengan “harapan” dan usaha kolektif kebahagiaan akan kembali menghampiri.
Marilah kita tunggu bersama, Wassalam!
13, Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar