Selasa, 25 Februari 2014

Belajar Kepada “Heracletos”


Oleh Roychan Fajar (Pengurus Lpm Instika)
Beberapa malam yang lalu, saya sempat nimbrung bersama teman-teman Ijtihadul Falasifah dalam salah satu kajian filsafat di “padepokan agung” (begitulah sebutan bagi sebagian banyak teman-teman saya), pada bagian saya itu, saya mendapat tugas membedah epistimologi pemikiran enam tokoh filosof Yunani kuno, mulai dari Thales, Anaximanders, Anaximanes, Heraclitus, Parmenides, dan Empedocles.
          Hal yang menarik bagi saya adalah, ketika menbedeh epistimologi pemikirannya Heraclitos, dalam gagasannya ia mencirikan dunia dengan sebuah keterbalikan. Apabila kita tak pernah merasakan pahitnya cinta, maka tentu kita tak akan merasakan manisnya cinta, dan jangan pernah berharap untuk kenyang, apabila kita tak merasakan kelaparan terlebih dahulu.
          Konsep teoritis keterbelikan tersebut, adalah sebuah perekat dunia, apabila proses tersebut berhenti begitu saja, maka hancurlah dunia beserta isi-isinya. Proses tersebut akan terus bergerak, mengalir pada kurun waktu yang tak terbatas.
          Gagasan dari Heraclitos ini, sesekali saya meng-ia-kan, dengan kata lain ''sepakat''. Dunia tak lain memang dicirikan oleh  dua ciri yang kontradiktif dari gagasan yang terus mengalami gerak dialektis secara bergilir menempati poisisinya. Jangan pernah bertanya kapan proses ini akan berakhir, Heraclitos tak pernah memprediksinya, namun yang pasti apabila proses ini berhenti secara tiba-tiba maka musnahlah manusia, beserta benda-benda yang ada di alam raya ini.
          Ya, benar! Saya merasakannya hari ini, dari konsepi yang dibangun oleh Heraclitos itu; antara kebahagiaan dan kesedihan. Awalnya, memang terasa bahagia yang tak terkira, canda dan tawa seakan menjadi bagian yang pasti selalu terjadi dalam alur waktu yang terus bergerak dalam kehidupan 'aku' dan 'dia'.
          Perjalanan dari hari ke hari selanjutnya, selalu dan senantiasa kami jalani bersama. Namu begitulah, di balik manisnya sebuah kebersamaan akan tercipta sebuah perpisahan. Saat mengalami perpisahan inilah, kesedihan mulai hinggap dalam dimensi psikologis manusia. Sehingga, tak heran apabila seorang pribadi yang menderitanya bertingkah yang tak sewajarnya. Entah tiba-tiba suka menyendiri, terlihat murung, dan frustrasi akibat kesedihan yang menyelimutinya itu.
          Apakah nanti akan tercipta sebuah kebahagiaan kembali? Itu sudah barang pasti, tapi tak ada seorang pun yang tahu dalam bentuk “apa” kebahagiaan tersebut akan hadir menghampirinya kembali. Proses panjang menuju kebahagian itu, siapa pun akan merasa jenuh untuk menunggunya. Tak jarang pula, ada seseorang yang sampai menyiksa dirinya bahkan sampai bunuh diri karena sedih—yang kini lebih akrab dikenal sebagai keadaan galau.
          Penderitaan tersebut, akan terus berlanjut, tak ada seorang pun yang mampu untuk membendungnya. Hanya bisa berharap dan bermimpi dalam kekosongan angan bagi manusia dalam deritanya. Bukankah dalam salah satu mitologi Yunani, “Kotak Pandora” yang diyakini oleh para penduduk Yunani Kuno sebagai asal-muasal lahirnya sebuah kesengsaraan, penyakit, dan kesedihan harus diatasi oleh harapan yang terus dipuja? Semoga, dengan “harapan” dan usaha kolektif kebahagiaan akan kembali menghampiri. Marilah kita tunggu bersama, Wassalam!
          13, Februari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar