Oleh Moh. Syaiful Bahri
Tubuhnya tinggi. Parasnya sangat
menawan. Darinya, saya sering mendapatkan pelajaran. Belajar meresapi segala
hal yang dalam pikiran dangkal hanya sebatas ceracau. Dari sesuatu “hal gila”
kita kadang dibuat tertawa. Karena, perlu kita resapi, (tidak sedikit) dalam
tawa ada makna.
Bukankah perlu kedalaman untuk
mendapatkan sesuatu yang berharga?
Mutiara ada di dasar laut dalam. Hanya orang “hebat” yang bisa
mengambilnya. Nyawa tidak seharga “tawa”. Barangkali barometer untuk hal yang
“aneh” juga harus dengan media, alat, yang penuh keanehan. Inilah salah satu
bentuk keseimbangan dan keserasian; untuk mencapai kenyamanan.
Ia juga teman yang paling
imajinatif. Dalam pengakuannya, sejak kecil ia memiliki banyak kenangan dari
sana. Mulai dari yang paling brilian bahkan yang terkonyol pun pernah
dilakukan. Tidak pernah ada sesal di hatinya. Ia justru bersyukur dan sangat
“menikmati”-nya. Bukankah lipatan waktu (sejarah) berlalu dalam
ketidak-tetapan. Ia dinamis: selalu berubah. Dalam posisi seperti ini, kita
sebenarnya ada pada “kulminasi” imajinasi, titik tertinggi “khayalan”.
Sekarang, teman saya itu hanya
bisa tertawa lepas kala kembali mengingat kekonyolan itu. Mendengar ceritanya,
saya dapat hiburan gratis. Dari penuturannya, saya juga mendapatkan inspirasi
baru untuk diolah dalam imajinasi. Meskipun saya juga akui, untuk urusan ini
saya tidak dapat menandinginya.
Hal itu, bagi saya, aktivitas
yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Sepintas, itu semua tidak ada artinya.
Di panggung drama, misalnya, kita sebagai lakon harus fleksibel. Tidak semua
harus ikut pada “sutradara”. Adakalanya kita harus mengeksplorasi diri. Dengan
catatan, guide text tetap dalam pegangan. Bila tidak begitu, luasnya makna yang
perlu kita sampaikan hanya terbatas pada (area) panggung pertunjukan. Tidak
lebih.
Di banyak hal, baik tindakan
ataupun peristiwa, ada sisi lain yang sering terlewatkan. Kalaupun berusaha,
kita tetap terbiasa lupa. Atau, kita memang tidak memiliki kekuatan.
Selebihnya, kita merasa nikmat larut dalam kecemasan. Manusia memang tidak ada
kuasa, lemah tak berdaya. Sampai di sini, kita tahu, kita jangan terlalu banyak
berharap.
Sejarah (kejadian masa lalu) yang
dimulai sampai luar batas akan menjadi sesuatu yang mengabadi di hari ini.
Kisah perjuangan Nabi tetap dikenang di hati umatnya karena Quraisy sangat
“kelewatan” kejam perlawanannya, misalnya. Atau, bagi umat Kristen, Yesus
selamanya dipuja sebab “kesabarannya”; rela menebus semua dosa pengikutnya.
Dengan kata lain, di luar pribadi kita ada banyak peristiwa penting yang
berserakan kalau kita mau membuatnya berarti di kemudian hari.
Pribadi seseorang banyak
terbentuk dari luar dirinya. Sayangnya, sesuatu yang ada di luar itu sepertinya
tidak pernah kita hiraukan. Apakah kita yang tersesat, atau “jalan” itu yang
telah menyesatkan, saya tidak dapat memastikan. Butuh waktu lama untuk menyemai
benih “kebebasan”. Barangkali melepaskan
diri dari jerat keterbelengguan menuju kebebasan adalah bagian dari kerumitan.
Bahkan, yang terparah ketika kita tidak tahu bahwa itu sebenarnya masalah. Ada
banyak pilihan, sejibun kemungkinan. Sampai akhirnya, kita pasti mengakui bahwa
segalanya harus berubah.
Ada beberapa hal masih belum
sepenuhnya biasa kita lakukan. Salah satunya “nekat”. Kita lebih memilih
sesuatu yang pasti. Padahal, perlu kita sadari, “kenekatan” itu justru sebentuk
energi lain untuk mendorong kecemasan pada titik terendah. Dalam hal ini,
seperti salah satu ucapan teman saya itu, “Laumpaui batasanmu.” Bukankah
“batas” itu juga termasuk “musuh” paling lembut? Sampai kapan pun, musuh
tetaplah ada. Dan, musuh terbesar adalah diri kita sendiri.
Butuh ketulusan niat. Dari
beberapa tingkah-langkah, berupa apa pun—termasuk di dalamnya memainkan
imajinasi liar, nakal, dan sesuatu yang tidak wajar di kebanyakan orang,
sebenarnya tak jarang kita masih terlalu takut. Wajar bila ada beberapa orang
tidak menyukai. Apakah semua hal harus didasarkan pada “kesamaan”?
Tidak seharusnya di setiap
pilihan hidup dilalui dengan sesuatu yang berakar pasti. Tidak ada larangan
pada siapa pun untuk berbuat “baik” untuk dirinya sendiri. “Kebaikan” di sana
dalam ukuran yang tidak sama antarmanusia. Adakalanya kita perlu
mempertimbangkan “ketidakmungkinan”, seperti teman saya yang merasa nyaman
dengan (imajinasi) lamunan-lamunan.
Egosentrisme tidak lagi menjadi
sesuatu yang “menyeramkan”. Sudah saatnya kita mulai dengan keterbukaan.
Minimalnya, kita dialogkan antara pikiran sehat dan lamunan: khayalan. Dua
aktivitas yang saling ber-oposisi ini suatu waktu perlu disatukan. Sekarang,
tinggal kita bagaimana cara merangkulnya. Ciptakan kemesraan yang sesungguhnya
lewat sesuatu yang tidak mudah. Bahagia tidak hanya sekadar “tawa”.
Tidak ada yang bisa memvonis
salah dan benar. Ini bukan persoalan main “todongan”. Pada saatnya, setiap
orang akan menyadarinya bahwa dari setiap peristiwa ada sesuatu yang sampai
kapan pun kita tidak pernah lepas dari tanya. Kita tidak pernah bisa saling
mengerti antara kita dalam “ego” dengan suatu yang datang dari “luar”. Kita
juga bisa terjebak pada sesuatu yang tidak kita sadari tiba-tiba sudah “ada”.
Entah bagaimana ceritanya, muaranya ada pada kebingungan.
Banyak kejutan yang terjadi. Ia—pasti
“datang” dengan tiba-tiba—termasuk cara membuat kita sadar. Dalam keterkejutan,
kita seperti mulai menata dari awal. Ketika me-reset, meski berangkat lagi dari
yang terkecil, tapi bayang-bayang antara nyata atau tidak nyata tak sepenuhnya
dapat enyah begitu saja. Dalam batas ada bekas. Sejauh apa pun rentang
jaraknya, semua tidak mudah terhapus.
Mari, mulai dari pikiran, kita
“lampaui” batasan yang biasa kita buat. Ini bukan main-main. Jangan takut,
semua akan menjadi lebih baik. Buanglah rasa was-was, agar kita semakin bebas.
Akan ada gangguan serius dari awal peristiwa besar. Apakah ada suatu
“kebesaran” dimulai tanpa “dicoba” dengan derai airmata. Bila ada, ternyata
“khayalan” kita di waktu tertentu suka usil “menggoda” dengan bermacam cara yang
sarat makna pada empunya. Derai airmata atau tawa, enjoy aja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar