Sabtu, 14 Desember 2013

Khayal




Oleh Moh. Syaiful Bahri 
 
Tubuhnya tinggi. Parasnya sangat menawan. Darinya, saya sering mendapatkan pelajaran. Belajar meresapi segala hal yang dalam pikiran dangkal hanya sebatas ceracau. Dari sesuatu “hal gila” kita kadang dibuat tertawa. Karena, perlu kita resapi, (tidak sedikit) dalam tawa ada makna.
Bukankah perlu kedalaman untuk mendapatkan sesuatu yang berharga?  Mutiara ada di dasar laut dalam. Hanya orang “hebat” yang bisa mengambilnya. Nyawa tidak seharga “tawa”. Barangkali barometer untuk hal yang “aneh” juga harus dengan media, alat, yang penuh keanehan. Inilah salah satu bentuk keseimbangan dan keserasian; untuk mencapai kenyamanan.
Ia juga teman yang paling imajinatif. Dalam pengakuannya, sejak kecil ia memiliki banyak kenangan dari sana. Mulai dari yang paling brilian bahkan yang terkonyol pun pernah dilakukan. Tidak pernah ada sesal di hatinya. Ia justru bersyukur dan sangat “menikmati”-nya. Bukankah lipatan waktu (sejarah) berlalu dalam ketidak-tetapan. Ia dinamis: selalu berubah. Dalam posisi seperti ini, kita sebenarnya ada pada “kulminasi” imajinasi, titik tertinggi “khayalan”.
Sekarang, teman saya itu hanya bisa tertawa lepas kala kembali mengingat kekonyolan itu. Mendengar ceritanya, saya dapat hiburan gratis. Dari penuturannya, saya juga mendapatkan inspirasi baru untuk diolah dalam imajinasi. Meskipun saya juga akui, untuk urusan ini saya tidak dapat menandinginya.
Hal itu, bagi saya, aktivitas yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Sepintas, itu semua tidak ada artinya. Di panggung drama, misalnya, kita sebagai lakon harus fleksibel. Tidak semua harus ikut pada “sutradara”. Adakalanya kita harus mengeksplorasi diri. Dengan catatan, guide text tetap dalam pegangan. Bila tidak begitu, luasnya makna yang perlu kita sampaikan hanya terbatas pada (area) panggung pertunjukan. Tidak lebih.
Di banyak hal, baik tindakan ataupun peristiwa, ada sisi lain yang sering terlewatkan. Kalaupun berusaha, kita tetap terbiasa lupa. Atau, kita memang tidak memiliki kekuatan. Selebihnya, kita merasa nikmat larut dalam kecemasan. Manusia memang tidak ada kuasa, lemah tak berdaya. Sampai di sini, kita tahu, kita jangan terlalu banyak berharap.  
Sejarah (kejadian masa lalu) yang dimulai sampai luar batas akan menjadi sesuatu yang mengabadi di hari ini. Kisah perjuangan Nabi tetap dikenang di hati umatnya karena Quraisy sangat “kelewatan” kejam perlawanannya, misalnya. Atau, bagi umat Kristen, Yesus selamanya dipuja sebab “kesabarannya”; rela menebus semua dosa pengikutnya. Dengan kata lain, di luar pribadi kita ada banyak peristiwa penting yang berserakan kalau kita mau membuatnya berarti di kemudian hari.
Pribadi seseorang banyak terbentuk dari luar dirinya. Sayangnya, sesuatu yang ada di luar itu sepertinya tidak pernah kita hiraukan. Apakah kita yang tersesat, atau “jalan” itu yang telah menyesatkan, saya tidak dapat memastikan. Butuh waktu lama untuk menyemai benih “kebebasan”.  Barangkali melepaskan diri dari jerat keterbelengguan menuju kebebasan adalah bagian dari kerumitan. Bahkan, yang terparah ketika kita tidak tahu bahwa itu sebenarnya masalah. Ada banyak pilihan, sejibun kemungkinan. Sampai akhirnya, kita pasti mengakui bahwa segalanya harus berubah.
Ada beberapa hal masih belum sepenuhnya biasa kita lakukan. Salah satunya “nekat”. Kita lebih memilih sesuatu yang pasti. Padahal, perlu kita sadari, “kenekatan” itu justru sebentuk energi lain untuk mendorong kecemasan pada titik terendah. Dalam hal ini, seperti salah satu ucapan teman saya itu, “Laumpaui batasanmu.” Bukankah “batas” itu juga termasuk “musuh” paling lembut? Sampai kapan pun, musuh tetaplah ada. Dan, musuh terbesar adalah diri kita sendiri.
Butuh ketulusan niat. Dari beberapa tingkah-langkah, berupa apa pun—termasuk di dalamnya memainkan imajinasi liar, nakal, dan sesuatu yang tidak wajar di kebanyakan orang, sebenarnya tak jarang kita masih terlalu takut. Wajar bila ada beberapa orang tidak menyukai. Apakah semua hal harus didasarkan pada “kesamaan”?
Tidak seharusnya di setiap pilihan hidup dilalui dengan sesuatu yang berakar pasti. Tidak ada larangan pada siapa pun untuk berbuat “baik” untuk dirinya sendiri. “Kebaikan” di sana dalam ukuran yang tidak sama antarmanusia. Adakalanya kita perlu mempertimbangkan “ketidakmungkinan”, seperti teman saya yang merasa nyaman dengan (imajinasi) lamunan-lamunan.
Egosentrisme tidak lagi menjadi sesuatu yang “menyeramkan”. Sudah saatnya kita mulai dengan keterbukaan. Minimalnya, kita dialogkan antara pikiran sehat dan lamunan: khayalan. Dua aktivitas yang saling ber-oposisi ini suatu waktu perlu disatukan. Sekarang, tinggal kita bagaimana cara merangkulnya. Ciptakan kemesraan yang sesungguhnya lewat sesuatu yang tidak mudah. Bahagia tidak hanya sekadar “tawa”. 
Tidak ada yang bisa memvonis salah dan benar. Ini bukan persoalan main “todongan”. Pada saatnya, setiap orang akan menyadarinya bahwa dari setiap peristiwa ada sesuatu yang sampai kapan pun kita tidak pernah lepas dari tanya. Kita tidak pernah bisa saling mengerti antara kita dalam “ego” dengan suatu yang datang dari “luar”. Kita juga bisa terjebak pada sesuatu yang tidak kita sadari tiba-tiba sudah “ada”. Entah bagaimana ceritanya, muaranya ada pada kebingungan. 
Banyak kejutan yang terjadi. Ia—pasti “datang” dengan tiba-tiba—termasuk cara membuat kita sadar. Dalam keterkejutan, kita seperti mulai menata dari awal. Ketika me-reset, meski berangkat lagi dari yang terkecil, tapi bayang-bayang antara nyata atau tidak nyata tak sepenuhnya dapat enyah begitu saja. Dalam batas ada bekas. Sejauh apa pun rentang jaraknya, semua tidak mudah terhapus.
Mari, mulai dari pikiran, kita “lampaui” batasan yang biasa kita buat. Ini bukan main-main. Jangan takut, semua akan menjadi lebih baik. Buanglah rasa was-was, agar kita semakin bebas. Akan ada gangguan serius dari awal peristiwa besar. Apakah ada suatu “kebesaran” dimulai tanpa “dicoba” dengan derai airmata. Bila ada, ternyata “khayalan” kita di waktu tertentu suka usil “menggoda” dengan bermacam cara yang sarat makna pada empunya. Derai airmata atau tawa, enjoy aja...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar