Oleh Moh. Syaiful Bahri
Pada
suatu kesempatan, saya bertemu dengan salah satu teman karib lama. Ada rasa
bahagia tak terkira. Dahaga kerinduan seakan sirna tak bersisa. Setidaknya,
saya dapat segera ingat namanya. Serta terpenting, saya bisa melihat rupanya
setelah sekian lama tak berjumpa.
Nyaris
tidak ada yang berubah. Wajah melankolis tetap menjadi ciri gayanya. Yang saya
lihat, saat itu penampilannya tidak seburuk ketika kami masih sama-sama duduk
di bangku Sekolah Dasar (SD), setelah hampir satu dasawarsa terpisah.
Saya
sangat berutang budi padanya. Bagi saya, ia teman pertama yang mengenalkan saya
pada dunia tulis-menulis. Jasanya masih saya rasakan hingga hari ini, detik
ini. Karena pertemuan itu, saya kembali mengingat masa kecil yang indah dulu.
Ingin
rasanya kembali memutar balik waktu. Saat kecil, masih terekam jelas di ingatan
ketika pertama kali saya “menulis”: menulis sebuah “karya”. Saya kira waktu itu
yang saya lakukan hanya bagian dari kenakalan saya di bangku SD dulu. Saya
tidak tahu kalau karena “kebiasaan” itu tidak dapat saya lupakan dan
berpengaruh hingga sekarang.
Di
usia yang masih sangat kecil, saya justru telah berani berkenalan dengan dunia
orang dewasa. Ini tidak lain karena teman itu yang menyeret saya masuk ke
dalam. Dengan iming-iming dibelikan jajanan di sekolah, saya langsung manut. Ia
hanya menyuruh saya untuk menulis surat. Bukan surat idzin tidak masuk sekolah,
tapi surat cinta untuk kekasih “monyet”-nya yang harus saya tulis. Dengan
berbekal kosa kata seadanya—maklum masih kelas dua SD, saya mengerjakan
“kontrak” itu secara profesional. Saya masih sangat ingat pesanan surat cinta
pertama yang saya tulis di belakang kelas sebelum saya pulang ke rumah: “Aku
Cinta Kamu”. Hanya tiga kata, tidak lebih.
“Karya”
pertama berakhir kecewa. Surat pesanan pertama yang saya kirimkan tidak hanya
ditolak, tapi malah langsung dirobek. Tapi, saya tidak putus asa. Demi teman
dan cintanya, yang terpenting bagi saya waktu itu uang jajan di sekolah tetap
terjamin sebagai bagian dari kontrak, saya terus berusaha untuk menaklukkannya.
Karena itu, saya harus banyak belajar.
Sejak
peristiwa itu, saya seperti memasuki dunia baru: “saya harus bisa menulis”.
Awalnya, saya bertekad demikian bukan untuk menulis “karya” kebanyakan, tapi
untuk lebih agar dapat meyakinkan orang lain dengan tulisan yang saya tulis:
agar “memori” surat yang dirobek tidak terulang kembali. Anggapan saya, karena
untuk meyakinkan orang secara langsung saya tidak bisa, terlalu malu.
Kebiasaan
itu terus berlanjut sampai saya melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih
tinggi. Kali ini, medannya berbeda. Pesanan “surat” tidak hanya soal “bayaran”
dari teman. Ini tentang gengsi. Saya tidak peduli dengan hasilnya, apakah surat
cinta yang saya tulis itu dapat “menyatukan” teman saya atau tidak. Saya hanya ingin
membuktikan pada teman bahwa usaha yang saya lakukan hanya bagian kecil untuk
mewujudkan harapannya dengan cara yang berbeda.
Pesanan
terus mengalir. Ada beberapa teman yang sampai menjalin kasih berawal dari
surat yang saya tulis. Soal “honor” menulis surat, saya tidak begitu
menghiraukan. Nilai pertemanan tidak bisa digoyahkan dengan materi. Dengan
surat tanpa dirobek, meski ditolak, sudah cukup tidak membuat saya begitu
kecewa. Saya sangat menikmati.
Dan
sekarang, saya merasakan pengaruhnya. Saya berusaha untuk tetap menulis. Saya
ogah dengan penilaian orang lain tentang tulisan saya. Itu hak mereka menilai
apa saja. Saya hanya ingin menulis. Menulis apa saja yang ingin saya tulis.
Begitu memang yang sering saya katakan pada teman ketika menanyakan kenapa saya
menulis.
Waktu
berlalu, saya yakin bahwa semua yang ditulis pada akhirnya akan berupa sesuatu
yang tidak bisa dipisahkan dengan penulisnya. Dengan menulis, saya ingin
sesuatu yang berserakan dan mudah terlupa dalam hidup mengalir utuh menjadi sesuatu
yang berarti. Bukankah dalam hidup pasti ada batas?
Saya
percaya, menulis merupakan cara untuk melampaui batas. Ada ruang pemisah antara
kita dengan dunia nyata yang kita hadapi. Dan, salah satu cara untuk meleburkan
diri pada dunia itu adalah menulis. Ketika menulis, kita sebenarnya menjadi
bagian yang padu antara kita, dunia, dan teks yang kita tulis. Mengenai
pembacaan orang terhadap tulisan kita, itu terletak pada bagaimana mereka masuk
dalam “teks” yang kita tulis dan memosisikan dirinya seperti kita, penulis.
Tidakkah itu suatu kebanggan membuat orang lain begitu ingin “memahami” tentang
kita, dan apa yang kita hasilkan dari tulisan.
Untuk
itu, saya menulis saja, mengikuti selera pikiran dan hati. Entah orang lain
merespon bermacam-mcam, itu urusan mereka. Terbukti dari kebanyakan tulisan,
saya memulainya dengan mempertimbangkan kenyamanan diri. Di balik tulisan,
pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi, saya membenarkan itu.
Saya
menulis lebih nyaman ketika sesuai dengan suasana hati. Ada kebahagiaan lain
ketika selesai menuliskan sesuatu, misalnya, yang sangat mengusik ketenangan
diri. Beberapa memang karena tuntutan lain. Namun, kepuasan tentu tidak bisa
dibeli. Sehingga, ketika perasaan saya beragam, tidak ada “obat” lain selain
saya tuangkan dalam tulisan berupa catatan kecil, kadang di buku, atau langsung
saya ketik menjadi arsip pribadi di flashdisk. Meskipun saya akui, saya bukan
orang yang begitu rajin menulis diary. Tidak apa-apa, yang penting menulis.
Saya
tidak segan mengajak teman untuk membiasakan menulis. Saya mengimpikan semua
teman bisa menulis dan diantara kita saling tukar tulisan. Alangkah besar
manfaatnya seandainya itu terwujud. Ada sebagian yang menerima ajakan saya,
tapi ada juga yang justru mencela. Kita memang tidak pernah bisa menyatukan
semua keinginan dalam satu harapan. Setidaknya, dengan tulisan ini, semoga ada
teman yang sudi membaca, saya ingin menyampaikan bahwa tidak ada yang lebih
berarti daripada hidup mengabadi. Buktikan kalau “kau” juga manusia, memiliki
kemampuan yang sama untuk menulis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar