Kamis, 05 Desember 2013

Bermula dari Kisah di Sekolah


Oleh Moh. Syaiful Bahri 

Pada suatu kesempatan, saya bertemu dengan salah satu teman karib lama. Ada rasa bahagia tak terkira. Dahaga kerinduan seakan sirna tak bersisa. Setidaknya, saya dapat segera ingat namanya. Serta terpenting, saya bisa melihat rupanya setelah sekian lama tak berjumpa.
Nyaris tidak ada yang berubah. Wajah melankolis tetap menjadi ciri gayanya. Yang saya lihat, saat itu penampilannya tidak seburuk ketika kami masih sama-sama duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), setelah hampir satu dasawarsa terpisah.
Saya sangat berutang budi padanya. Bagi saya, ia teman pertama yang mengenalkan saya pada dunia tulis-menulis. Jasanya masih saya rasakan hingga hari ini, detik ini. Karena pertemuan itu, saya kembali mengingat masa kecil yang indah dulu.
Ingin rasanya kembali memutar balik waktu. Saat kecil, masih terekam jelas di ingatan ketika pertama kali saya “menulis”: menulis sebuah “karya”. Saya kira waktu itu yang saya lakukan hanya bagian dari kenakalan saya di bangku SD dulu. Saya tidak tahu kalau karena “kebiasaan” itu tidak dapat saya lupakan dan berpengaruh hingga sekarang.
Di usia yang masih sangat kecil, saya justru telah berani berkenalan dengan dunia orang dewasa. Ini tidak lain karena teman itu yang menyeret saya masuk ke dalam. Dengan iming-iming dibelikan jajanan di sekolah, saya langsung manut. Ia hanya menyuruh saya untuk menulis surat. Bukan surat idzin tidak masuk sekolah, tapi surat cinta untuk kekasih “monyet”-nya yang harus saya tulis. Dengan berbekal kosa kata seadanya—maklum masih kelas dua SD, saya mengerjakan “kontrak” itu secara profesional. Saya masih sangat ingat pesanan surat cinta pertama yang saya tulis di belakang kelas sebelum saya pulang ke rumah: “Aku Cinta Kamu”. Hanya tiga kata, tidak lebih. 
“Karya” pertama berakhir kecewa. Surat pesanan pertama yang saya kirimkan tidak hanya ditolak, tapi malah langsung dirobek. Tapi, saya tidak putus asa. Demi teman dan cintanya, yang terpenting bagi saya waktu itu uang jajan di sekolah tetap terjamin sebagai bagian dari kontrak, saya terus berusaha untuk menaklukkannya. Karena itu, saya harus banyak belajar.
Sejak peristiwa itu, saya seperti memasuki dunia baru: “saya harus bisa menulis”. Awalnya, saya bertekad demikian bukan untuk menulis “karya” kebanyakan, tapi untuk lebih agar dapat meyakinkan orang lain dengan tulisan yang saya tulis: agar “memori” surat yang dirobek tidak terulang kembali. Anggapan saya, karena untuk meyakinkan orang secara langsung saya tidak bisa, terlalu malu. 
Kebiasaan itu terus berlanjut sampai saya melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Kali ini, medannya berbeda. Pesanan “surat” tidak hanya soal “bayaran” dari teman. Ini tentang gengsi. Saya tidak peduli dengan hasilnya, apakah surat cinta yang saya tulis itu dapat “menyatukan” teman saya atau tidak. Saya hanya ingin membuktikan pada teman bahwa usaha yang saya lakukan hanya bagian kecil untuk mewujudkan harapannya dengan cara yang berbeda.
Pesanan terus mengalir. Ada beberapa teman yang sampai menjalin kasih berawal dari surat yang saya tulis. Soal “honor” menulis surat, saya tidak begitu menghiraukan. Nilai pertemanan tidak bisa digoyahkan dengan materi. Dengan surat tanpa dirobek, meski ditolak, sudah cukup tidak membuat saya begitu kecewa. Saya sangat menikmati.
Dan sekarang, saya merasakan pengaruhnya. Saya berusaha untuk tetap menulis. Saya ogah dengan penilaian orang lain tentang tulisan saya. Itu hak mereka menilai apa saja. Saya hanya ingin menulis. Menulis apa saja yang ingin saya tulis. Begitu memang yang sering saya katakan pada teman ketika menanyakan kenapa saya menulis.
Waktu berlalu, saya yakin bahwa semua yang ditulis pada akhirnya akan berupa sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan penulisnya. Dengan menulis, saya ingin sesuatu yang berserakan dan mudah terlupa dalam hidup mengalir utuh menjadi sesuatu yang berarti. Bukankah dalam hidup pasti ada batas?
Saya percaya, menulis merupakan cara untuk melampaui batas. Ada ruang pemisah antara kita dengan dunia nyata yang kita hadapi. Dan, salah satu cara untuk meleburkan diri pada dunia itu adalah menulis. Ketika menulis, kita sebenarnya menjadi bagian yang padu antara kita, dunia, dan teks yang kita tulis. Mengenai pembacaan orang terhadap tulisan kita, itu terletak pada bagaimana mereka masuk dalam “teks” yang kita tulis dan memosisikan dirinya seperti kita, penulis. Tidakkah itu suatu kebanggan membuat orang lain begitu ingin “memahami” tentang kita, dan apa yang kita hasilkan dari tulisan.
Untuk itu, saya menulis saja, mengikuti selera pikiran dan hati. Entah orang lain merespon bermacam-mcam, itu urusan mereka. Terbukti dari kebanyakan tulisan, saya memulainya dengan mempertimbangkan kenyamanan diri. Di balik tulisan, pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi, saya membenarkan itu.
Saya menulis lebih nyaman ketika sesuai dengan suasana hati. Ada kebahagiaan lain ketika selesai menuliskan sesuatu, misalnya, yang sangat mengusik ketenangan diri. Beberapa memang karena tuntutan lain. Namun, kepuasan tentu tidak bisa dibeli. Sehingga, ketika perasaan saya beragam, tidak ada “obat” lain selain saya tuangkan dalam tulisan berupa catatan kecil, kadang di buku, atau langsung saya ketik menjadi arsip pribadi di flashdisk. Meskipun saya akui, saya bukan orang yang begitu rajin menulis diary. Tidak apa-apa, yang penting menulis.
Saya tidak segan mengajak teman untuk membiasakan menulis. Saya mengimpikan semua teman bisa menulis dan diantara kita saling tukar tulisan. Alangkah besar manfaatnya seandainya itu terwujud. Ada sebagian yang menerima ajakan saya, tapi ada juga yang justru mencela. Kita memang tidak pernah bisa menyatukan semua keinginan dalam satu harapan. Setidaknya, dengan tulisan ini, semoga ada teman yang sudi membaca, saya ingin menyampaikan bahwa tidak ada yang lebih berarti daripada hidup mengabadi. Buktikan kalau “kau” juga manusia, memiliki kemampuan yang sama untuk menulis!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar