M. Sukran Hamidy*
“Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di Ibu Kota, kikuk pulang ke daerahnya sendiri? Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknonogi, ilmu kedokteran, atau apa saja, bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata: ‘Di sini,aku merasa asing dan sepi!’ ”(WS. Rendra)
Bahwa pendidikan hanya membuat seseorang kian “terasing”, sebagaimana sajak WS. Rendra di atas, sudah bukan rahasia lagi. Sarjana kita pada umumnya merasa sungkan untuk menjadi petani dan atau pekerjaan kasar lainnya. Bagi mereka, pekerjaan terbatas pada jabatan perkantoran, menenteng tas dan bersepatu mengkilat serta bergaji tetap.
Lazim kita ketahui, setiap kali seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dibuka, senantiasa dipenuhi dengan berjubel orang yang hendak mendaftarkan diri. Sebab, bagi mereka, PNS merupakan pekerjaan prestesius; impian banyak orang. Menjadi PNS tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan mereka, namun juga dapat meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Karenanya, tak heran jika begitu memburu PNS; saling menjatuhkan satu sama lain. Mereka layaknya ribuan laron yang begitu antusias hanya untuk menuju satu titik cahaya. Tak peduli sekalipun kuota yang dibutuhkan terkadang tidak sampai sepuluh persen dari jumlah pendaftar.
Data statistik pengangguran nasional yang di atas angka sebelas persen akan senatiasa terus bertambah jika pola pikir dan nalar masyarakat masih tetap serba naif dan bermental “buruh”. Pada titik ini, pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk mengubah pola pikir ini. Sudah selayaknya pendidikan mempertimbangkan pendidikan kewirausahaan atau pendidikan entrepreneurship sebagai materi ajar di setiap lembaga pendidikan.
Pendidikan Entrepreneurship
Pendidikan entrepreneurship pada prinsipnya untuk mengubah orang agar bisa hidup mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, dan malah supaya mampu meciptakan lapangan kerja sendiri. Melalui pendidikan ini, diharapkan dapat mengubah masyarakat dari mindset atau pola pikirnya.
Bagaimana pun tindakan dan keputusan seseorang, tidak bisa dipisahkan dari cara ia berpikir. Selama ini mindset masyarakat tak terkecuali para sarjana adalah mindset karyawan, kuli atau buruh. Mereka tidak mau mengambil resiko dan tidak mau susah. Mereka tidak sadar bahwa, di mana pun, yang namanya kuli atau buruh merasa cukup dengan upah yang ia terima sebagai tebusan dari kerja kerasnya. Entah upah harian, mingguan atau bahkan upah bulanan seperti yang diterima oleh para kuli berseragam: PNS. Lain dari itu, kerja mereka—tanpa mereka sadari—dipenjara oleh waktu.
Sementara mindset yang ada dalam entrepreneurship adalah mindset pengusaha; siap menanggung resiko dan menapaki tantangan. Sehingga dengan sendirinya, dalam entrepreneurship harus membekali diri dengan kemapanan mental, teknik, skill, keberanian dan kemampuan diri agar dapat menapaki tantangan yang senantiasa malang melintang.
Mengingat dunia entrepreneursip adalah dunia yang dinamis dan dituntut untuk selalu peka terhadap setiap perkembangan dan informasi serta dapat bersinergi dengan keadaan, maka menjadi entrepreneur itu gampang-gampang susah. Dibilang gampang karena menjadi entrepreneur itu tidak mensyaratkan gelar akademik maupun Ijazah, yang dibutuhkan “hanyalah” kemauan untuk berusaha, serta semangat pantang menyerah. Yang tak kalah penting dari itu, adalah ‘keberanian’. Tanpa sikap berani, tak mungkin siapapun memulai usaha. Namun yang perlu kita garis bawahi di sini, sikap berani bukanlah berani yang ‘konyol’, berani tanpa perhitungan. Akan tetapi, “keberaniaan” tersebut sudah melalui perenungan dan kalkulasi yang matang dalam dunia usaha, sesuai dengan teori yang ada.
Menggeluti dunia entrepreneurship juga dapat dibilang susah karena realitanya tidak semua orang memiliki keberanian untuk bergiat dalam entrepreneurship yang dituntut untuk berani menanggung resiko. Namun, mereka lebih memilih yang menurutnya tidak berisiko. Yang terlintas di pikirannya hanyalah menjadi pegawai yang bergaji tetap. Hal ini mungkin karena mereka terpesona dengan seragam necis, sepatu mengkilat dan pin pegawai di dada kirinya. Walaupun nyatanya untuk skadar berpakaian necis tidak harus jadi pegawai.
Padahal, jika berbicara prospek, dunia wirausaha cukup menjanjikan. Jarang kita mendengar PNS jadi jutawan. Yang sering kita saksikan para jutawan di negeri kita adalah para pengusaha. Sebut saja H. M. Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Surya Paloh yang memiliki kekayaan melimpah dari kegiatan wirausaha.
Namun mengapa tidak semua orang tertarik pada dunia wirausaha? Karena dunia ini cukup berisiko dan sarat tantangan. Tidak sedatar dalam kehidupan para kuli dan buruh. Menekuni dunia ini memerlukan keberanian khusus yang semua itu bisa diperoleh dari pendidikan entrepreneurship. Atau bisa saja sebagai ekses dari cara pandangnya terhadap masa depan yang cukup jauh dan cerah. Banyak fakta menunjukkan bahwa para entrepreneur sukses dan mereka tidak pernah belajar di perguruan tinggi dan tidak pernah pula belajar pendidikan entrepreneurship. Akan tetapi, komitmen hidup dan keberaniannya jauh lebih kokoh dari para penenteng stopmap yang ke mana-mana mencari kerja, memburu PNS.
Menjadi entrepreneur tidak harus turun lapangan seperti yang terlanjur dipahami banyak orang. Hal ini penting untuk disampaikan karena terkadang orang telalu sempit memaknai entrepreneurship itu sendiri. Kita bisa bergelut dengan dunia entrepreneurship tanpa menyita waktu belajar, mengajar kita dan aktivitas lainnya. Semisal dalam kerja sama bagi hasil (mudlarabah) kita bisa berperan sebagai shahibul mal di mana modal kita dikelola oleh penggarap atau mudlarib.
Respon Instika
Pendidikan entrepreneurship seperti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya cukup massif digalakkan sebagai respon terhadap lonjakan pengangguran yang sulit untuk ditanggulangi. Bahkan pendidikan ini telah menjadi materi ajar di beberapa Sekolah dan Perguruan Tinggi di kota-kota besar. Lain dari itu, pelatihan dan workshop-workshop yang bertajuk kewiarausahaan banyak pula digelar di berbagai tempat.
Idealnya, lembaga pendidikan di manapun tidak hanya mencekoki anak didiknya dengan teori-teori an sich. Sementara di sisi lain anak didik tidak paham ke mana dan di mana teori itu akan bisa diterapkan. Bila tetap demikian adanya—meminjam bahasanya Mas Masyhur Abadi—sekolah akan menjadi tangga ajaib yang membawa anak didik menuju muara asing. Sehingga anak didiknya menjadi kian tercerabut dari pribadi dan dari bumi mereka berpijak, tidak lagi ‘be their self’.
Bila perguruan tinggi terlalu berat untuk menjadikan pendidikan entrepreneurship sebagai materi ajar dengan segala pertimbangan, setidaknya dapat melakukan terobosan-terobosan yang bisa diharapkan mampu mencetak sikap mental mandiri, kreatif, inovatif, semanagat tinggi, dan gigih dalam manjalankan tanggung jawab. Bukan malah mengarahkan anak didiknya untuk menjadi buruh atau kuli berseragam (PNS) yang penghasilannya tidak seberapa jika dibanding dengan pengusaha.
Penulis sebagai orang yang tidak terlalu berharap banyak pada sistem apapun dan di manapun bahkan pada kampus tercinta, izinkan untuk mengakhiri tulisan ini dengan satu pertanyaan reflektif, sampai kapan Instika akan terus ikut andil menambah jumlah ‘penganguran terdidik’ dengan mindset yang naif, ke sana ke mari menenteng stopmap lamaran kerja, menjadi ‘pemburu’ PNS yang sama sekali tidak memiliki benih kemandirian dalam dirinya?
Barakallahu lana walakum. Walllahu ‘alam bissawab
*Mahasiwa Muamalat yang bergiat dalam dunia wirausaha
yang nyambi sebagai Kepala MI Nurul Muttaqin serta teman belajar siswa SMP Islam Raudlatul Amal Ganding Sumenep
Tidak ada komentar:
Posting Komentar