Jumat, 04 Maret 2011

Kopi Lusi

Oleh: Ummul Corn

            Pernahkan engkau merasakan kehampaan seraya berkata bahwa engkau tak lebih dari seonggok makhluk yang tersisih dan tersendiri? Pernahkah engkau merasakan rindu setengah mati pada sebuah suara yang tiba-tiba lenyap lantaran engkau sendiri yang menepisnya? Perasaan yang membuatmu terasing dalam menjalani kehidupan  yang panjang ini. Perasaan ingin meliarkan hatimu untuk mengembara dan menemukan separuh lainnya yang searah.
            Perasaan itulah yang kurasakan saat aku mencoba mengasingkan diri setiap sore di sebuah dangau tua yang hampir roboh. Menarik tali panjang dari ujung yang membuatnya bergerak ke seluruh penjuru arah. Empat tali rafia panjang yang pada setiap jengkalnya dipasangi sampah plastik dan bekas kaleng-kaleng susu untuk mengusir para burung pencuri padi. Bukan mencuri, lebih tepatnya mencari nafkah untuk sanak famili mereka yang tengah menunggu di sarangnya. Aku ingin membuktikan bahwa aku bebas, aku merdeka, persis seperti burung-burung itu yang dapat mengepakkan sayap mereka dan melahirkan keindahan senja yang luar biasa.
            Awan berarak melintasi sawah ke sawah yang tengah membentangkan warna hijau dan sedikit warna emas. Sampai akhirnya awan-awan itu mengantarkan sepasang bola mataku pada sosok lelaki yang tengah duduk di atas pematang yang memanjang ke arah timur. Pematang yang letaknya berbatas sepetak sawah dari dangau tempatku menyepi. 
            Lelaki tinggi tegap yang tengah mengenakan kaos partai lusuh berwarna hijau itu bangkit dan melangkah menuju ke arahku. Badannya tampak disesaki daging. Wajahnya bulat lebar dengan dagu sedikit terbelah di bagian tengahnya.  Ditambah jenggot tipis yang tampak rapi menghiasi dagunya. Bibirnya sama sekali tidak hitam, kelihatan sekali kalau ia tak pernah bersentuhan dengan rokok.
            Ia semakin mendekat menghunjamkan pandang ke arahku yang tergugu. Ia berjalan ringan sambil menenteng botol air kemasan berukuran 600 ml berisi kopi. Bagian bawah botolnya tampak berkerut dan menyempit. Mungkin kopi itu dituangkan ketika masih panas.
            Lelaki itu semakin mendekat. Mencipta suara jeritan bambu beradu ketika pantatnya ia letakkan begitu saja di sampingku. Ia tampak tenang membuang pandang jauh ke arah barat sana. Persis dengan adegan saat kami kecil dulu.
            Rentang waktu yang panjang, yaitu waktu yang sejenak untuk kami berpisah dan menyusuri jalan masing-masing, tak membuatnya mengalami banyak perubahan. Ia tetap menjadi dirinya sendiri; Hasan yang susah berbicara dengan orang-orang, terutama perempuan. Bagiku ia adalah teman kecil yang super aneh. Ia selalu merasa akan mengalami kejadian-kejadian aneh yang luar biasa atau menciptakan suatu keajaiban yang mustahil, seperti membangkitkan kembali menara Sauron dalam film The Lord of The Rings, merasa mampu berjalan melampaui suatu ruang panjang dalam waktu yang relatif singkat, bahkan pernah ia berkeinginan untuk berubah wujud menjadi seekor kodok yang dapat memikul bawang di pundaknya. Ia terkadang menjadi pembual yang membuatku geli setengah mati.
            Hasan berantonim Alim. Alim adalah ‘musuh’ kecilku. Ia tak pernah suka pada apa yang melekat dalam diriku. Katanya aku ini bukan perempuan, melainkan manusia jadi-jadian yang lebih mengerikan dari pada banci. Alasannya, aku tidak memiliki tubuh seksi seperti teman-teman perempuan kami yang lain. Payudaraku kecil dan berada di bawah standart rata-rata anak seusiaku. Bahkan saat aku ikut bersepeda mendaki gunung dan memanjat pohon bersama teman-teman lelakiku, dia malah mengolok-olokku dan mengataiku sebagai perempuan setengah gila.
            Saat Alim mulai mengusiliku, diam-diam Hasan datang sebagai seorang pahlawan. Ia melawan tidak dengan kata-kata atau adu otot, tetapi dengan sandi tubuh. Alim akan sangat ketakutan bila Hasan menatapnya dengan berang. Entah mengapa, aku juga tidak mengerti. Yang jelas Hasan adalah sosok kawan yang amat disegani. Meski terkadang ia juga menjadi teman yang dapat mengudang tawa. Beginilah kira-kira prinsipnya: “Kalau bisa, saya  ingin membuat hidup ini penuh dengan tawa, atau tangis haru. Tak boleh ada kepedihan secuil pun di tempat ini.”
            Hasan dan Alim seperti magnet dari kutub yang berlawanan. Meski begitu, ada kesamaan di antara aku, Hasan, dan Alim yang membuat kami tetap bersahabat dalam segala ketidakmungkinan yang ada. Dari kecil kami bertiga sama-sama suka kopi. Kata Alim, kopi itu bikin kangen. Bagi Hasan, kopi bisa buat orang jadi segar, sabar, dan tentram. Menurutku, kopi adalah lambang kerinduan dan keteguhan hati. Karena aku sadar, sesempurna apa pun kopi itu dibuat, ia tetap mempunyai sisi pahit yang tak bisa disembunyikan. Begitupun dengan rindu menyakitkan yang membutuhkan ketegaran sebagai bentengnya.
            Kopi membuat khayalku terdampar lagi ke masa kecil. Aku sampai lupa kalau Hasan kini tengah berada di sampingku. Cukup lama aku bernostalgia dengan anganku. Memilih sepi sebagai juru kunci yang mengantarkanku pada kisah aroma kopi persahabatan. Kupandangi Hasan. Tak ada tanda-tanda ia akan membuka dialog. Hanya napasnya yang menjadi latar cerita kami sore ini.
            “Hmmm… Sudah menikah, Lus?” Akhirnya ia berujar pelan. Namun pertanyaannya kali ini telah membuyarkan perbenadaharaan kataku. Seperti ada biji kedongdong di tenggorokanku. Di usiaku yang hanya kurang satu tahun untuk genap berkepala tiga, aku benar-benar bingung mencari alasan. Menikah adalah kosa-kata yang paling aku segani. Dan pertanyaan Hasan serupa suara tawon yang terus berputar-putar di dekat daun telingaku.
            Aku merasa menjadi perempuan tersisih dan terasing di kampungku sendiri. Merasakan kehampaan berada di antara suara-suara yang sejatinya sungguh bising. Aku merasa menjadi sekeping besi yang meratapi kesendirian sepanjang waktu. Mencecapi setiap rasa pahit yang terkadang membuatku ingin amnesi untuk selamanya.
            Hening. Suara batuk-batuk. Suara kaleng susu memecah sunyi.
            “Kopi ini manis ya… tapi tetap saja pahit,” kataku sambil menunjuk kopi milik Hasan. Ada cairan hangat yang tak bisa kutahan. Tiba-tiba pipiku menjadi lembab begitu saja.
            “Aku kangen kopimu. Katanya kopimu itu lambang keteguhan hati. Lambangmu, Lusi…” Hasan menatap kedua mataku. Ada semangat di sela kata-katanya.
            “Eh, ya… menikah. Bukan tidak mau tapi aku sudah gagal empat kali,” jawabku klise.
            “Coba lihat ke bawah! Itu… ada kodok melompat di pinggiran parit. Kodok itu temanku. Dia pasti bercerita sesuatu kepadaku”. Penyakitnya kambuh. Ia tidak memintaku bercerita menggunakan bahasa langsung, tapi dengan sindiran yang menarik. Itulah sebabnya aku begitu merasa nyaman berada di dekatnya. Tanpa diminta pun aku akan bercerita kepadanya.
            “Empat kali gagal. Sakit, San! Pertama, saat aku duduk di bangku MTs, ada pemuda dari kampung Pangilen melamarku. Aku memang menyukainya, tetapi tidak mengira kalau dia juga memiliki rasa yang sama. Sayang… keluargaku tidak setuju. Saudara tertua ibu melarang keras untuk menerimanya. Katanya paman teringat sumpah lama para leluhur dari keluarga pemuda itu yang tak kutahu jalan ceritanya. Ah! Aku memang paling benci kalau nama leluhur dibangkitkan kembali untuk dijadikan alasan.
            Yang kedua, aku sudah berada di tingkat SMA kelas akhir. Ayah menjodohkanku dengan anak temannya. Pemuda itu baik menurut penilaian dangkalku. Dari segi fisik tak ada yang disayangkan. Pemuda pilihan ayahku itu sudah sarjana dan mempunyai pekerjaan tetap. Menurut perjanjian yang telah disepakati, aku bisa melanjutkan kuliah sambil menjalani kewajiban sebagai seorang istri. Aku menghargai keputusan ayah dan menuruti kehendaknya. Aku tahu orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya.
            Seluruh keluarga sepakat dan telah menentukan tanggal pernikahan. Namun sialnya, kakek adalah satu-satunya orang yang tidak setuju. Kakek menjodohkanku dengan orang lain saat aku tengah terikat pertunangan. Semua jadi kacau. Pernikahan digagalkan dari pihak calon suamiku. Aku terpaksa diam dengan segala perasaan getir yang menjalari seluruh tubuhku. Menerima kenyataan pahit bahwa aku tak lebih dari sebongkah patung. Bukan pahatan seniman Bali yang dilelang dan diagungkan, melainkan patung murahan yang dilirik saja tak pantas. Aku merasa tak punya kemampuan untuk menegaskan kebebasan eksistensial yang melekat dalam diriku.
            Ketika tunangan keduaku telah menikah dengan orang lain, akhirnya seluruh keluargaku tahu kalau lelaki pilihan kakek sama sekali tak bisa mengaji, tak bisa membaca dan tak bisa yang lainnya. Bukankah semua perempuan menginginkan pemimpin yang baik? Yang bisa menuntun sang istri ke jalan Tuhan. Aku tak mau bukan karena aku tak bisa menerima kekurangan-kekurangan pada lelaki itu yang juga sama-sama ciptaan Tuhan, tapi apa yang bisa diharapkan dari lelaki yang mengaji saja tidak bisa?
            Kalau aku mau, aku bisa memuntahkan segala ejektif yang mengandung sindrom klausafobik untuk lelaki itu. Tapi itu tidak kulakukan. Aku kasihan kepada kakek dan harga diri lelaki pilihannya. Maka aku meminta agar pertunangan ketigaku segera digagalkan. Bersama pasrah, aku hanya berharap Tuhan segera memberikan secangkir kopi nikmat untukku,” aku menceritakan kisahku yang panjang kali lebar tanpa peduli pada burung-bugung yang tengah sibuk mematuk-matuk padi yang kujaga. Ini adalah kecolongan yang dibiarkan.

           
            “Minumlah kopi ini dulu! Lalu kau bisa melanjutkan ceritamu,” Hasan menyodorkan kopi. Aku meminumnya seteguk. Tinggal satu lagi kekuatanku untuk menceritakan semuanya. Habis itu aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi.
            “Tapi bagaimana cara melanjutkan ceritaku?”
            Dia tersenyum. Lalu tertawa sambil menepuk pundakku beberapa kali.
            “Apakah kau mau minum kopi ini lagi?” Dia balik bertanya sesuatu yang tidak bekaitan dengan pertanyaanku. Dia memang aneh.
            “Tidak, tidak!” Aku menggeleng kenes.
            “Bukankah bercerita itu lebih gampang dari pada menembel ban yang kempos?”
            Ah, Hasan! Mana mungkin dia membandingkan dua hal yang bedanya jauh bermil-mil. Ia terus memaksaku bercerita. Dan aku tahu dia tidak akan pergi sebelum ceritaku benar-benar telah usai. Aku menyukai caranya memaksa dengan gayanya yang melemahkan.
            “Dua tahun kemudian, saat umurku telah genap dua puluh tahu, Alim datang kepadaku sebagai sebuah cahaya yang menebariku di tengah kehampaan. Ia menunjukkan jari kelingkingnya dan memberikan janji yang tak terhitung jumlahnya. Tentang keindahan-keindahan di masa kini dan yang akan datang. Katanya kami akan membangun rumah sederhana dan menanam bunga cempaka, melati, dan kenanga di pekarangannya. Hidup damai bersama empat orang anak yang ia harapkan keluar dari rahimku. Katanya anak-anakku akan lucu-lucu. Salah-satunya ada yang gendut dan pipinya seperti kue bakpau.
            Sesederhana itulah permusuhan kami berubah menjadi cinta yang luar bisa. Ia mengumpamakan dirinya sebagai sebongkah perahu yang akan menyelamatkan hidupku dan anak-anak kami, kelak. Hingga ia menjadi harapan satu-satunya dalam hidupku. Dan aku telah sempurna menggantungkan rindu di unjung kailnya. Mengunci hati dan menyerahkan segenap kepercayaanku kepadanya.” Aku berhenti. Suaraku tertegun-tegun. Napasku naik-turun.
            “Lalu bagaimana mungkin Alim meninggalkanmu?”
            “Bukan. Bukan Alim yang menyakitiku. Dia baik. Tapi aku yang meninggalkannya.”
            “Bagaimana mungkin?” ia memperjelas pertanyaannya.
            “Tentu saja aku tak mungkin memilih hidup bersamanya yang menjanjikan pernikahan kepadaku sementara ia tengah terikat pertunangan dengan perempuan lain. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan menjadi parasit dalam hubungan yang jelas-jelas masih dipertahankan?
            Kapan hari, saat aku ke kampus untuk sebuah acara pelatihan kepempinan yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa, seorang perempuan mengenakan jilbab merah jambu memandangiku dengan penuh kebencian. Perempuan itu lebih pendek dariku yang berukuran 158 cm. Kulitnya bercahaya. Berbeda dengan kulitku yang berwarna gelap. Sepasang matanya teduh tapi geram. Sedang kedua bibirnya seperti dipolesi madu. Ciri-ciri perempuan itu persis seperti yang diharapkan Alim sejak kecil. Tepat ketika Alim dan aku beradu mulut untuk sebuah perkelahian panjang. Katanya tak mungkin ada orang yang suka pada perempuan sejelek aku. Ia berharap jodohnya adalah perempuan cantik yang berkpribadian lembut. Entah mengapa, di usia kami yang sudah dewasa, tiba-tiba saja Alim memilihku dan meyakinkanku dengan perkataan-perkataan yang sama sekali tak membuatku curiga dan ragu.
            Pertama, perempuan itu hanya memandangiku saja. Tapi selanjutnya ia mengenalkan diri. Katanya namanya Dewi. Ia mulai berceloteh panjang lebar dengan nada dan bahasa yang tak sewajarnya. Sampai tibalah pada puncak keberangannya dengan mengataiku sebagai perempuan kurang ajar, perebut tunangan orang, dan ini-itu yang lainnya. Nah! Kau tak mungkin bisa membayangkan bagaimana remuknya perasaanku saat tahu kalau perempuan itu adalah tunangan Alim. 
Bagus jika cuma satu, bagaimana kalau perempuan-perempuan gelapnya yang lain mendatangiku dan mengataiku dengan ejekan yang serupa? Aku bangkit dan berujar selamat kepada Dewi. Aku memilih untuk tidak sekedar menjadi materi yang kehilangan harga diri.
Akhirnya dengan segala perasaan sakit dan mensyukuri kepedihan, aku memilih untuk meninggalkannya. Aku pergi dengan membawa teguh setiaku. Membawa kerinduan yang tulus untuknya. Kerinduan dalam perih yang menyesaki pori-poriku. Sakit yang mulai kuhitung inci per incinya dan kunikmati seperti mengunyah martabak panas di malam yang dingin.
Kerinduan ini akan kucumbui sendirian, akan kupeluk dengan sepi sendirian, akan kurayu-rayu sendirian, dan akan kuramu menjadi kopi meski hanya sebatas ilusi.  Tanpa perlu ia tahu bahwa aku akan tetap berdiri dengan kopiku yang melambangkan kerinduan dan keteguhan hati”. Dadaku sesak menahan napas yang tertahan-tahan. Seketika mulutku tak dapat kubuka lagi.
            Hasan melompat ke arah rawa sambil berjalan tersaruk-saruk dalam lumpur. Dia berhasil menangkap seekor kodok dan memberikannya kepadaku seraya berkata:
            “Lupakan cerita yang gagal! Menikahlah saja denganku.”
            Praaaaaaakkkkk! Kroweeeeeeeeeekkkkkk…!!!
            Dangau yang kami tempati roboh diterpa angin dan kuat lagi menampung dua pasang pantat. Kami berdua jatuh terjerembab ke dalam lumpur. Tawa Hasan pecah dan berhamburan ke sela-sela padi. Sementara aku masih kebingungan mengartikan bahasanya. Apakah kalimat ajakannya hanya berarti lelucon dan sebuah godaan ataukah ia adalah jawaban Tuhan atas doaku semalam?


Gubuk Cerita, 16 Pebruari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar