Selasa, 08 Maret 2011

Pendidikan Entrepreneur; Harga Mati Perguruan Tinggi


Oleh: Fathol Alif

Sudah menjadi rahasia umum kiranya jika ada orang—baik asing atau lokal—berkata bahwa Indonesia adalah negara kaya tapi miskin. Kalau melihat keadaan alam negara kita, mungkin benar bahwa negara ini termasuk negara yang mempunyai kekayaan alam melimpah. Bahkan dari saking kayanya, banyak warga luar yang “bertamu” ke negara kita dalam rangka mengeruk kekayaan alamnya.

Namun, ketika kita melihat keadaan bangsa ini, mungkin banyak orang menyesal karena dilahirkan di Indonesia. Keadaan bangsa ini sungguh ruwet. Di setiap persimpangan jalan, utamanya di kota-kota metropolitan, kita akan melihat banyak pengamen yang terdiri dari anak-anak usia sekolah, pengemis dan bayi, yang seharusnya dirawat dengan baik, dijadikan alat untuk menarik simpati banyak orang demi mendapatkan sesuap nasi. Belum lagi banyaknya angka pengangguran seiring dengan perkembangan pendidikan di negara kita. Hal ini yang kemudian melahirkan asumsi bahwa, pendidikan hanya bagian awal yang harus dilalui untuk memperoleh label pengangguran.

Berbicara pengangguran, tentunya berkait-kelindan dengan kondisi pendidikan. Pendidikan  sangat menentukan naik dan turunnya angka pengangguran. Kenapa? Karena pendidikan di negara kita seperti  menara gading di atas langit, tidak pernah melihat ke bawah apalagi berupaya terjun langsung ke lapangan. Mereka, para pengelola pendidikan, terutama perguruan tinggi, hanya “bertengger” di tatanan konsep. Mereka tidak pernah melihat apa sesungguhnya yang terjadi di luar sana. Juga demikian dengan para alumninya, dibiarkan begitu saja tanpa diberi panduan dan arah yang jelas, harus ke mana dan perlu mengatur konsep teknis apa agar bisa membantu mereka mendapatkan pekerjaan.

Kendatipun pernyataan ini (sebenarnya) kurang begitu enak untuk dibaca oleh pengelola pendidikan, bukan berarti penulis menyama-ratakan semua perguruan tinggi di negeri ini. Akan tetapi, sikap “apatis” perguruan tinggi terhadap realita sosial dan para alumninya, tetap harus diubah dan diupayakan mendapat tanggapan serius dari para pemegang kebijakan di tingkat perguruan tinggi. Karena bagaimanapun, mempertahankan kebiasaan yang buruk tetap tidak bisa dibenarkan dalam hal apa pun. Dalam hal ini, penulis ingat pada kata-kata inspiratifnya Mario Teguh, bahwa, “mempertahankan kebiasaan buruk sama dengan berdiri di atas semen basah, semakin lama anda berdiri di atas semen basah, akan semakin sulit anda membebaskan diri”.

Selama ini, dalam pembacaan penulis, upaya untuk ikut andil dalam mengantisipasi membeludaknya pengangguran kurang begitu diperhatikan, kalau pun dilakukan, hal itu (masih) kurang sedemikian baik, optimal dan maksimal. Ada kesan bahwa perguruan tinggi sangat ekslusif terhadap realitas dan masyarakat sebagai konsumen pendidikan. Ada disparitas sosial sangat lebar di antara dua kelompok tersebut. Perguruan tinggi hanya menawarkan sekian program studi melangit dengan segala tawaran manis dan menggiurkan; namun kesemua itu akan segera bekerja setelah lulus.  Bahkan tak jarang—kalau perguruan tinggi swasta yang biasanya lekat dengan keislaman—konsep man arada al-dunya fa’alaihi bi al-ilmi, wa man arada al-akhirat fa’alaihi bi al-‘ilmi wa man aradahuma fa’alaihi bil al-‘ilmi dijadikan justifikasi untuk membuat masyarakat terbuai dengan “sembarang” program studi. Ibarat seseorang yang berjualan jamu atau obat di pasar, mereka berteriak-teriak tanpa bukti nyata.

Masyarakat sebagai konsumen pendidikan dicekoki dengan sekian janji sangat berbunga-bunga. Keadaan demikian mengingatkan penulis pada agama di masa Karl Marx yang hanya bisa meninabobokkan masyarakat. Sehingga agama pada waktu itu diklaim oleh Marx sebagai opium masyarakat. Agama dianggap demikian tidak lain karena agama tidak memposisikan—atau diposisikan—sebagai teologi pembebasan.

Kaitannya dengan perguruan tinggi, maka tidak salah kiranya, jika pada kondisi ini, justru perguruan tinggilah yang sebenarnya candu masyarakat, bukan lagi agama. Agama saat ini berbeda dengan agama pada masa Marx. Agama tidak hanya menjanjikan kebahagiaan di hari kemudian, tapi juga mengajarkan manusia untuk memacu semangat di dunia ini guna mendapat kebahagiaan. Buktinya, dalam literatur utama umat Islam, Al Qur’an, kita pasti bertemu dengan bunyi ayat fastabiqul khairot. Ayat ini menuntut kita untuk berdaya saing kuat secara sportif. Belum lagi dengan ayat, innallaha layughayyiru ma biqaumin, hatta yughayyiru ma biamfusihim.

Perguruan tinggi dianggap sebagai candu masyarakat, tak lain akibat dari tindakan perguruan tinggi yang hanya menyediakan program studi “tidak tepat guna”. Ada beberapa program studi yang tidak layak dipertahankan—itu pun masih dipertahankan keberadaannya dalam rangka mencari popularitasnya; agar dikatakan keren oleh masyarakat luar. Sementara ada beberapa program studi yang sangat diminati konsumen pendidikan dan sesuai dengan kebutuhan zaman justru tidak digarap secara serius. Semisal pendidikan entrepreneurship, yang penulis kira, sangat dibutuhkan oleh banyak kalangan saat ini guna (selain) mengantisipasi adanya adagium perguruan tinggi hanya bisa mencetak mental buruh juga untuk mengurangi angka pengangguran.

Bila ada statemen bahwa perguruan tinggi menjadi tulang punggung utama guna memperbaiki kehidupan bangsa, itu pun masih perlu dibahas kembali dan dicarikan kebenarannya dalam konteks apakah hal itu diposisikan. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Belum lagi  perguruan tinggi berlatar pesantren, dalam batas tertentu,  yang (maaf) serba terbatas, dan keadaan seperti itu pada tataran selanjutnya seringkali dijadikan apologi untuk tidak membuka jurusan kewirausahaan (entrepreneurship). Padahal sudah jelas dalam literatur-literatur Islam, bahwa maksud kata “al ‘ilmi” dalam hadits thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin, adalah “‘ilmul hal”, yaitu ilmu yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan masanya. Dikatakan tidak tepat guna, karena program studi yang disediakan hanya berlingkup di bidang keislaman an sich;  pendidikan entrepreneurship karena datangnya dari masyarakat Barat, mungkin dianggap “tidak berhak” masuk di dalamnya.

Padahal, dalam pandangan Islam, pendidikan entrepreneurship merupakan hal yang sangat urgen, apalagi ketika masyarakat dalam keadaan krisis finansial yang tentunya berakibat pada kesejahteraan dan kemakmuran. Posisi manusia sebagai khalifah fil ard sudah barang tentu sangat butuh terhadap pendidikan entrepreneurship. Kesejahteraan yang seharusnya menjadi harga mati bagi manusia tidak lagi terlihat di negara ini. Sebagai khalifah, manusia mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keadaan alam ini, termasuk menjaga dari kehancuran akibat membrutalnya tindakan manusia karena adanya ketidakseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan mereka sehari-hari.

Lalu, langkah apa yang mesti dilakukan oleh pihak perguruan tinggi ke depan? Apakah statemen, sebenarnya perguruan tinggilah yang menjadi opium masyarakat akan terus dibiarkan berkembang dan menjadi buah bibir masyarakat, tanpa melakukan (sedikit) tindakan untuk membuktikan bahwa adagium seperti itu salah? Atau justru sebaliknya, perguruan tinggi akan tetap pada posisi semula tanpa menghiraukan apa yang terjadi dan menimpa alumninya ketika telah terjun ke masyarakat dalam keadaan bingung, akibat pendidikan yang didapatkan dari perguruan tinggi kurang “laku”? Untuk menjawab beberapa hal itu, penulis kira tidak perlu menuliskannya di dalam tulisan sederhana ini. Jawaban dari beberapa pertanyaan di atas harus tidak boleh berbentuk tulisan, melainkan tindakan kongkrit dari perguruan tinggi. Wallahu a’lam!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar