Oleh : M. Kamil Akhyari *)
Seorang pemuda yang karena berpendidikan rendah lalu dengan sadar memilih pekerjaan sebagai penjual es dawet, jauh lebih merdeka daripada seorang sarjana yang ke mana-mana menenteng stopmap berisi lamaran kerja karena malu melakukan pekerjaan lain di luar kantor.
(Ki Hajar Dewantara)
Di abad milenium ketiga ini, kerap kali kita menyaksikan kenyataan dari perkataan Ki Hajar Dewantara tersebut. Tahun 2010 lalu, ketika angin segar rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dihembuskan Pemerintah Kabupaten Sumenep, ribuan sarjana berjubel mendaftarkan diri. Kouta CPNS 2010 yang hanya membutuhkan 12 guru agama, tidak selaras dengan jumlah “pemburu” PNS yang mencapai ratusan bahkan ribuan orang.
Jabatan sebagai PNS adalah prestasi yang membanggakan. Pasalnya, gaji menggiurkan yang diberikan pemerintah plus uang pesangon merupakan dambaan setiap orang untuk memperbaiki strata sosial. Tak heran jika kursi PNS diperebutkan para sarjana.
Mengamati percaturan insan kampus memperebutkan kursi PNS, benarkah mahasiswa dididik untuk membentuk mentalitas pegawai dan mencetak tenaga kerja? Padahal, PNS bukanlah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup (survive) dan memperbaiki kelas sosial. Namun, lemahnya skill yang dimiliki membuat insan akademik merasa risih dan gengsi untuk bekerja di luar kantoran.
Sakrenas, BPS tahun 2004 mengeluarkan hasil penelitian bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula ketidakmandiriannya. Sebagai ilustrasi, sarjana yang pekerjaannya mandiri 5,85 persen, dan orang yang tidak tamat SD mencapai 20,8 persen. Sementara sarjana yang jadi karyawan 83,1 persen dan orang yang tidak tamat SD 8,9 persen.
Adakah yang salah dengan kurikulum pendidikan kita saat ini? Tujuan luhur pendidikan adalah proses menghijrahkan manusia menjadi insan yang merdeka dan mandiri. Tapi yang terjadi selama ini bukan memandirikan peserta didik, melainkan mem-“priyayi”-kannya.
Sekaratnya out-put pendidikan juga dirasakan pemikir pendidikan yang dipandang kritis, seperti Paulo Freire (1999). Ia menyatakan bahwa pendidikan di sekolah/kampus selama ini telah menjadikan peserta didik sebagai manusia yang terasing dan terecabut dari realitas dunia sekitarnya. Sebab, sekolah/kampus telah mengajarkan peserta didik menjadi seperti (orang lain)—bukan dirinya sendiri.
Pada titik ini, apa yang menyebabkan peserta didik tidak mandiri? Khairussalim Ikhs (2008) mencoba mencari jawabannya. Menurutnya, peserta didik tidak mandiri karena pembagian porsi yang tidak seimbang antara otak kanan dan otak kiri untuk berkembang. Kurikulum Pendidikan Nasional terbilang kurang memberikan ruang yang cukup terhadap otak kanan.
Selama ini, orang dianggap sukses dan berhasil jika nilai akademik yang ditorehkan tinggi, sedangkan proses bagaimana memperoleh cita-cita, memperoleh nilai dan kelulusan nyaris tidak pernah menjadi perhatian. Ketika angkat kaki dari bangku kuliah dan cita-cita yang diimpikan tidak menuai hasil, PNS menjadi pelampiasan karena merasa gengsi untuk bekerja di luar kantoran.
Sebuah Tawaran
Membeludaknya alumni PT yang rebutan kursi PNS menyadarkan sebagian pihak kampus dari “kelalaiannya”. Kurikulum pendidikan yang ditawarkan selama ini belum mencapai tujuan luhur pendidikan. Keresahan melihat alumninya ke mana-mana menenteng stopmap berisi lamaran kerja menantang pihak kampus untuk mencari penyelesaian membeludaknya mahasiswa bermental buruh.
Kewirausahaan, yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan, sebagai jawaban yang tepat dan langkah konkret untuk memberdayakan mahasiswa dan mengurangi angka pengangguran pada satu sisi, serta mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomi dengan terciptanya lapangan kerja pada sisi yang lain. Lebih jauh lagi, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat.
Kemajuan sebuah negara dapat diukur dengan seberapa banyak rakyat yang menjadi entrepreneur. Semakin banyak rakyat yang bersemangat membangun dan mengembangkan wirausaha, semakin besar pula peluang negara bersangkutan menjadi negara maju.
Jepang dan Taiwan tergolong negara maju dibanding Indonesia. Sedikitnya 4 persen dari total jumlah penduduk Jepang adalah pengusaha, dan 4,8 persen dari total jumlah penduduk Taiwan pengusaha. Sementara Indonesia, menurut Ciputra, jumlah pengusahanya hanya 0,18 persen dari jumlah penduduk.
Pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship education), tampaknya, layak dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sebagai bekal untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Mata kuliah kewirausahaan diharapkan bermuara pada pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia cerdas secara intelektual, tetapi juga melabuhkan praksis pendidikan yang inspiratif-pragmatis.
Namun, tidak semua pengelola kampus sadar bahwa pendidikan yang mereka jalankan “melangit” tapi tidak “membumi”, sehingga mereka hanya berkutat pada penggemblengan otak kiri. Mayoritas kampus yang “resah” dengan makin banyaknya pengangguran dan mencoba mencari jawaban adalah kampus yang tidak berbasis agama. Sementara Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang tertarik dengan materi kuliah kewirausahaan masih belum “menggeliat”.
Dari manakah asal mula kewirausahaan sehingga PTAI kurang bergeliat mempelajarinya? Kalau kita baca sejarah kanjeng Nabi Muhammad Saw., beliau adalah seorang pengusaha (entrepreneur). Pada usia 12 tahun beliau sudah berkenalan dengan dunia wirausaha. Namun, literatur yang menjelaskan beliau seorang pengusaha besar sangat minim. Kisah Nabi Muhammad terpotong. Perjalanan beliau yang tercatat dalam buku/ kitab hanya terbatas pada usia 40 sampai beliau wafat.
Sementara pada saat Muhammad muda menginjakkan kaki di muka bumi sampai diturunkan wahyu sebagai tanda kenabian jarang terungkap. Perjalanan beliau sebagai pengusaha luput dari sorotan para peneliti. Bukti kongkret Nabi Muhammad sebagai entrepreneur sejati, dalam salah satu riwayat disebutkan, pada usia yang masih muda, beliau sudah menjalankan bisnisnya sampai ke luar negeri.
Islam adalah agama yang sangat mendukung kewirausahaan demi terciptanya umat yang mandiri. Jika kita lacak dalil teologis kewirausahaan, Rasulullah dalam salah satu kesempatan pernah bersabda, “Sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah lewat bisnis (entrepreneurship)”.
Kampus–berbasis agama atau non agama—sebagai institusi pendidikan sudah seyogianya tidak hanya sekadar mendidik mahasiswa hebat dari sisi intelektual, penting pula mengajarkan berbagai keahlian dan semangat kewirausahaan kepada mereka agar kelak setelah lulus mereka dapat meneruskan hidup dengan bekerja atau bahkan membangun kerja secara profesional. Wallahu a’lam.
*) Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika). Bergiat di Entrepreneur Learning Community (ELC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar