Oleh : Syamsuni
(Peneliti Muda pada The Pencil Connection Madura)
“Bertani padi 3 bulan, cukup untuk hidup selama setahun”. Begitulah ungkapan seorang petani waktu itu, ketika penulis temani bercerita di sela-sela menyemai benih di sawahnya. Seperti kebanyakan cerita, dahulu, menjadi petani merupakan cita-cita yang cukup mulia. Karena semua kebutuhan dapat terpenuhi tanpa harus “silau” pada profesi lain. Semua tetek bengek keperluan hidup bisa teratasi lantaran teguh menjunjung tinggi profesi petani.
Cukup benar kiranya seperti yang disinyalir oleh Damhuri Muhammad, bahwa orang yang memilih menjadi petani sejatinya agar bisa bertahan dari hiruk pikuk kebutuhan hidup. Dalam arti, nafkah hidup bisa terpenuhi tanpa harus menggantungkan diri pada “keharusan” membeli. Karena sepanjang riwayatnya, petani sejati akan tetap “menahan diri” untuk membeli bahan pangan.
Tutur kata Damhuri Muhammad di atas sebenarnya merupakan falsafah usang dari konsep pertahanan pangan, yang sejak berkurun-kurun lamanya telah “menyehari” dalam kehidupan petani. Semakin banyak komoditas yang ditanam, semakin tangguh pula seseorang tegak berdiri sebagai petani. Cukup tepat bila masyarakat pedesaan Madura, sang pahlawan pertahanan pangan, harus berjuang mati-matian menggarap sawahnya agar tidak usah membeli pangan. Dalam keadaan apapun, mereka tetap tampil sebagai petani sejati. Tiap pergantian musim, mereka tidak pernah alpa untuk bergelimang lumpur dalam menyemai benih; tidak mau tahu apakah “tabiat” tanah telah berubah tak ramah. Mereka juga tidak peduli apakah iklim ekstrem kini telah mengubah alam yang mulanya pemurah. Mereka juga tak hirau terhadap hama yang kian mengganas serta harga bibit yang kian mahal. Mereka tetap teguh menjadi petani, menggarap lahan tiada henti.
Yang dibayangkan oleh mereka adalah bagaimana lumbung padi tetap abadi, tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh waktu. Maklum, bagi petani, lumbung merupakan pahlawan saat musim penceklik hadir. Sehingga, petani sejati tidak akan pernah menjual hasil panennya sebelum terlebih dahulu disisihkan dan disimpan di lumbungnya.
Akhir-akhir ini, bertani tak ubahnya perjudian. Bekal ilmu bercocok tanam dan strategi menaksir cuaca tak lagi bisa diandalkan. Dukun sakti penaksir cuaca tak lagi diperlukan, justru mereka dihujat lantaran tidak berkutik sedikitpun ketika iklim ekstrem “mengelabui” para petani, hingga mereka kehilangan masa emas "tanaman padi”. Belum lagi problem hama yang kian menggurita. Akhirnya, di saat musim panen tiba, mereka hanya bisa menatap lesu lantaran mimpi mereka buyar seketika.
Setelah lumbung tak lagi berisi, mereka gelisah. Satu-satumya energi hidup kini telah redup, rayap pun sudah berani menyusup. Akibat dari lumbung yang tak lagi berisi, mereka malah terhipnotis oleh godaan profesi lain. Bahkan tak jarang, demi sebuah profesi baru, tanah mereka rela dijual. Padahal, dari tanah itulah mereka bisa hidup dan menghidupi masyarakat, baik kelas bawah maupun kelas elite. Apa yang bakal terjadi ketika petani tidak lagi bangga bergelimang lumpur dan gesit menyemai benih? Yang ada, mereka telah keluar dari mentalitas kemandirian petani. Mereka lebih silau pada profesi lain: bekerja menjadi TKI. Cobalah, telusuri masyarakat-masyarakat pedesaan di Madura. Kini, rumah tidak terawat lantaran ditinggal pergi oleh penghuninya. Sungguh, menjadi sebuah ironi ketika pahlawan ketahanan pangan tiba-tiba harus beralih profesi. Lebih bangga kerja di negeri orang daripada menjadi pahlawan bagi negeri ini.
Ketangguhan sebagai petani sejati hanya tinggal predikat an sich. Justru yang terjadi mereka telah keenakan di negeri orang. Mungkin, salah satu faktor dari itu semua, karena selama mereka bertani seringkali berbuah petaka: mengalami kerugian dan bahkan dimiskinkan oleh struktur yang tidak memihak. Nyaris petani sekarang tidak menuai untung dari hasil jerih payahnya. Beras dibeli murah, utang kian “membukit”. Budaya tambal sulam pun semakin mentradisi. Bahkan tak jarang kita temukan para pedagang, penyelundup beras, spekulan dan tengkulak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Sehingga mereka menikmati keuntungan berlipat dari hasil penjualan beras yang mereka beli murah dari petani.
Lantas, di mana jargon pembelaan terhadap nasib rakyat kecil yang sejak lama digaungkan? Apa jargon itu sudah lapuk dimakan zaman? Kalau memang seperti itu, jangan salahkan kalau para pahlawan ketahanan pangan justru berbondong-bondong memilih beremigrasi. Mencari nafkah hidup yang lebih mapan, meninggalkan sawah dan ladang; membiarkan lumbung tak lagi berisi, kosong melompong.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar